MAKALAH "SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA PADA MASA TRANSISI HINGGA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO"

0 Comments
MAKALAH "SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA PADA MASA TRANSISI HINGGA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO"


A.Pernerintahan Transisi
Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997 nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS, mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing yang mengarnbil keputusan” jual”. Mereka mengambil sikap demikian, karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka pendek. Untuk mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, pemerintah Thailand melakukan intervensi dan didukung oleh intervensi yang dilakukan oleh bank sentral Singapura. Akan tetapi, pada hari Rabu 2 Juli 1997, bank sentral Thailand terpaksa mengumumkan, bahwa nilai tukar baht dibebaskan dari ikatan dolar AS. Sejak itu nasibnya diserahkan sepenuhnya kepada pasar. Hari itu juga pemerintah Thailand meminta bantuan IMF. Pengumuman itu mendepresiasikan nilai bath sekitar 15-20 persen hingga mencapai nilai terendah, yaitu 28,20 bath per dolar AS.
Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, hal itu merupakan awal dari krisis keuangan di Asia. Rupiah Indonesia mulai terasa goyang sekitar bulan Juli 1997, dari Rp 2.500 menjadi Rp 2650 per dolar AS. Sejak  itu posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Menanggapi perkembangan itu, pada bulan Juli 1997 Bank Indonesia (BI) melakukan empat kali intervensi, yaitu memperlebar rentang intervensi. Akan tetapi, pengaruhnya tidak banyak, nilai rupiah dalam dolar AS terus tertekan, dan tanggal l3 Agustus 1997 rupiah mencapai rekor terendah dalam sejarah, yaitu Rp 2,612 per dolar AS sebelum akhirnya ditutup Rp 2.655 per dolarAS. Dalam aksinya, pertama-tama BI memperluas rentang intervensi rupiah dari 8 persen menjadi 12 persen, tetapi akhirnya juga menyerah dengan melepas rentang intervensinya. Pada hari yang sama, rupiah anjlok ke Rp 2.755 per  dolar AS. Hari-hari dan bulan-bulan berikutnya kurs rupiah terus melemah, walaupun sekali-sekali mengalami penguatan beberapa poin. Pada bulan Maret 1998 nilai rupiah mencapai Rp 10.550 ,untuk satu dolar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari- Februari, sempat menembus 11.000 rupiah per dolar AS (Tambunan, 2006b).
Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional. Untuk mencegah agar keadaan tidak tambah buruk,pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkret, diantaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 trilyun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut .Pada awalnya pemerintah berusaha untuk menangani masalah krisis rupiah ini dengan kekuatan sendiri. Akan tetapi, setelah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak dapat dibendung lagi dengan kekuatan sendiri, lebih lagi karena cadangan dolar AS di BI sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk intervensi dan menahan atau mendongkrak kembati nilai tukar iupiah, Pada 8 Oktober 1997 pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari IMF. Hal ini juga dilakukan oleh pemerintah Thailand, Filipina, dan Kore Selatan.
Pada akhir bulan oktober 1997, lembaga keuangan internasional mengumumkan
paket bantuan keuangannya pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dolar AS, 23 milyar.
Diantaranya adalah pertahanan lapis pertama (front-line defence). Sehari setelah pengumuman itu, dan ,seiring dengan paket reformasi yang ditentukan oleh IMF, pemerintah Indonesia mengumumkan, pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat. Ini
merupakan awal dari kehancuran perekonomian Indonesia.
Paket program pemulihan ekonomi yang disyaratkan IMF pertama kali diluncurkan pada bulan November 1997, bersama pinjaman angsuran pertama senilai 3 miliar dolar AS. Pertama diharapkan bahwa dengan disetujuinya paket tersebut oleh pemerintah Indonesia, nilai rupiah akan menguat dan stabil kembali. Akan tetapi pada kenyataannya menunjukkan bahwa nilai rupiah terus melemah sampai pernah mencapai Rp 15.000 per dolar AS. Kepercayaan masyarakat di dalam dan  luar negeri terhadap kinerja ekonomi Indonesia yang pada waktu itu terus merosot, membuat kesepakatan itu harus, ditegaskan dalam nota kesepakatan (Latter of Intent/Lol) yang ditandatangani bersama antara pemerintah Indonesia dan IMF pada bulan Januari 1998.
Nota kesepakatan itu terdiri atas 50 butir kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restrukturisasi sektor keuangan, dan reformasi structural (Tambunan, 200Gb).
Butir-butir dalam kebijaksanaan fiskal mencakup, selain penegasan tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang (pengeluaran pemerintah sama dengan pendapatannya), juga meliputi usaha-usaha pengurangan pengeluaran pemerintah, seperti menghilangkan subsidi bahan bakar minyak (BBM dan listrik, dan membatalkan sejumlah proyek infrastruktur besar, dan peningkatan pendapatan pemerintah. Usaha- usaha terakhir ini akan dilakukan dengan berbagai cara, termasuk menaikan cukai terhadap sejumlah barang tertentu, mencabut semua fasilitas kemudahan pajak, diantaranya penangguhan pajak pertambahan nilai (PPN), dan fasilitas pajak serta tarif bea masuk yang selama ini diberikan antara lain kepada industri mobil nasional (Timor), mengenakan pajak tambahan terhadap bensin, memperbaiki audit PPN, dan memperbanyak obyek pajak.


Berbeda dengan Korea Selatan dan Thailand, dua negara yang sangat serius dalam
melaksanakan program reformasi, pemerintah Indonesia ternyata tidak melakukan reformasi sesuai kesepakatannya itu dengah IMF. Akhirnya, pencairan pinjaman angsuran kedua negara senilai 3 miliar dolar AS yang seharusnya dilakukan pada bulan Maret 1998 terpaksa diundur. Padahal, Indonesia tidak ada jalan lain selain untuk bekerja sama sepenuhnya dengan IMF, terutama karena dua hal (Tambunan, l998).
a)      Berbeda dengan kondisi krisis di Thailand, Korea Selatan, Filipina, dan Malaysia, krisis ekonomi di Indonesia sebenarnya sudah menjelma menjadi krisis kepercayaan. Masyarakat dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri (termasuk bank-bank di negara-negara mitra dagang Indonesia yang tidak lagi menerima letter of credit (L/C) dari bank-bank nasional, dan investor-investor dunia, tidak lagi percaya akan kemampuan Indonesia untuk menanggulangi sendiri krisisnya. Bahkan,mereka juga tidak lagi percaya pada niat baik atau keseriusan pemerintah dalam menangani krisis ekonomi di dalam negeri.1 Oleh karena itu, satu-satunya yang masih bisa menjamin atau memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap Indonesia adalah melakukan "kemitraan usaha" sepenuhnya antara pemerintah Indonesia dengan IMF.2
b)      Indonesia sangat membutuhkan dolar AS. Pada awal tahun 1998, kebutuhan itu diperkirakan sebesar 22,4 mihar dolar AS atau rata-rata 1,9 miliar dolar AS per bulan. Sementara, posisi cadangan devisa bersih yang dimiliki BI hingga awal Juni 1998 hanya l4.62l,4 juta dolar AS, naik dari 13.179,7 juta dolar AS pada akhir Maret 1998. Kebutuhan itu digunakan terutama untuk membayar pinjaman-pinjaman jangka pendek yang berasal dari luar (ULN) yang  diperkirakan pada pertengahan tahun 1998 sebesar 20 miliar dolar AS, membayar bunga atas pinjaman jangka panjang 0,9 miliar dolar AS, dan sisanya sebanyak 1,5 miliar dolar AS untuk kegiatan ekonomi di dalam negeri yang juga sangat diperlukan untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi.3
1.Bahkan sewaktu Suharto turun dari jabatmya sebagai presiden, nilai rupiah memamg sempat menguat tetapi sangat kecil, dan setelah itu kembali melemah. Hal ini menunjukkm bahwa walaupun Soeharto sudah tidak berkuasa lagi, kepercayam masyarakat belum juga pulih.

2.Dengan perkatam lain kalau Indonesia ingin mendapatkm bantuan dari luar negeri, baik dalam bentuk pinjman atau hibah arau jaminam terhadap L/C dan ingin agar arus PMA meningkat atau terus mengalir, maka pemerintah Indonesia terpaksa harus bekerja sma dengan IMF (menjalankan reformasi sesuai kesepakatan tersebut).
3.Pada awal November 1998, diperkirakan jumlah cicilan dan bunga ULN terhadap cadangan devisa pada tahun tersebut sekitar 180%, dan tahun 1999 naik menjadi kurang lebih 202 persen sampai dengan 205 persen dari jumlah cadangan devisa pada tahun yang sama.

 
 








Setelah gagal dalam pelalsanaan kesepakatan pertama itu, dilakukan lagi perundingan-perundingan baru antara pemerintah Indonesia dengan IMF pada bulan Maret 1998 dan dicapai lagi suatu kesepakatan baru pada bulan April 1998. Hasil-hasil perundingan dan kesepakatan itu dituangkan secara lengkap dalam satu dokumen bernama "Memorandum
Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan". Memorandum tambahan ini sekaligus juga merupakan kelanjutan, pelengkap, dan modifikasi dari 50 butir LoI pada
Bulan Januari 1997, yang tetap mencakup kebijaksanaan-kebijaksanaan fiskal dan moneter
serta reformasi perbankkan (sektor keuangan) dan struktural. Ada beberapa perubahan, di
antaranya penundaan penghapusan subsidi BBM dan listrik,4 serta penambahan sejumlah butir baru. Secara keseluruhan, ada lima memorandum tambahan dalam kesepakatan yang baru ini, yakni sebagai berikut. (Tambunan, 2006b).
  1. Program stabilisasi, dengan tujuan utama menstabilkan pasar uang dan mencegah
hyperinflasi.
  1. Restrukturisasi perbankkan, dengan tujuan utama untuk rangka penyehatan sistem
perbankan nasional.
  1. Reformasi struktural, yang mana disepakati agenda baru yang mencakup upaya-upaya
dan sasaran yang telah disepakati dalam kesepakatan pertama (15 Januari 1998).
  1. Penyelesaian ULN swasta (corporate debt). Dalam hal ini disepakati perlunya dikembangkan kerangka penyelesaian ULN swasta dengan keterlibatan pemerintah
yang lebih besar namun tetap dibatasi agar proses penyelesaiannya tetap dapat berlangsung lebih cepat.
  1. Bantuan untuk rakyat kecil (kelompok ekonomi lemah). Penyelesaian ULN swasta
dan bantuan untuk rakyat kecil merupakan dua hal yang di dalarn kesepakatan pertama (Januari l998) belum ada.5
Pada pertengahan tahun 1998, atas kesepakatan dengan IMF dibuat lagi memorandum tambahan tentang kebijaksanaan ekonomi dan keuangan. Akan tetapi, strategi menyeluruh stabilisasi dan reformasi ekonomi adalah tetap seperti yang tercantum dalam memorandum kebijaksanaan ekonomi dan keuangan yang ditanda tangani pada tanggal l5Januari 1998. Memorandum tambahan ini memutakhirkan dokumen yang terdahulu untuk menampung perubahan-perubahan yang terjadi setelah Januari 1998 pada situasi perekonomian makro dan prospeknya; dan juga menunjukkan bidang-bidang yang strateginya perlu disesuaikan, diperluas, atau diperkuat.
 

Krisis rupiah yang menjelma menjadi suatu krisis ekonomi, akhirnya juga memunculkan suatu krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka tahun 1945. Krisis politik tersebut diawali dengan penembakan oleh tentara terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti, tepatnya tanggal 13 Mei 1998, yang dikenal dengan sebutan Tragedi Trisakti. Kemudian, pada tanggal 14 dan 15 Mei kota Jakarta dilanda suatu kerusuhan yang juga dapat dikatakan paling besar dan paling sadis yang pernah dialami Indonesia. Setelah kedua peristiwa teriebut, gerakan mahasiswa yang sebelumnya sudah berlangsung semakin gencar.
Menjelang minggu-minggu terakhir buian Mei 1998, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dikuasai/diduduki oleh ribuan mahasiswa dari puluhan perguruan tinggi dari Jakarta dan luar Jakarta. Puncak dari keberhasilan gerakan mahasiswa tersebut, di satu pihak, dan dari krisis politik di pihak lain, adalah pada tanggal 2l Mei 1998, yaitu Presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh wakilnya BJ. Habibie. Tanggal 23 Mei 1998 Presiden Habibie membentuk kabinet baru, awal dari terbentuknya pemerintahan transisi.
Pada awalnya pemerintahan yang dipimpin oleh Habibie disebut pemerintahan reformasi. Akan tetapi setelah setahun berlalu, masyarakat mulai melihat bahwa sebenarnya pemerintahan baru ini tidak trerbeda dengan pemerintahan sebelumnya, mereka juga orang-orang rezim Orde Baru, dan tidak ada perubahan-perubahan yang nyata. Bahkan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) semakin menjadi-jadi, kerusuhan muncul di mana-mana, dan masalah Soeharto tidak terselesaikan. Akhirnya, banyak kalangan masyarakat lebih suka menyebutnya pemerintahan transisi dari pada pemerintahan reformasi (Tambunan, 2006b. :

B. Pernerintahan Reforrnasi Hingga Kabinet SBY
Pada pertengahan tahun 1999 dilakukan pemilihan umum, yang akhirnya dimenangi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Partai Golkar mendapat posisi kedua, yang sebenarnya cukup mengejutkan banyak kalangan di masyarakat. Pada Oktober 1999 dilakukan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan pemilihan presiden diselenggarakan pada tanggal 20 Oktober 1999. KH Abdurrachman Wahid atau dikenal dengan, sebutan Gus Dur terpilih sebagai Presiden Republik lndonesia (R.I) ke empat dan Megawati Soekarno Putri sebagai wakil presiden. Tanggal 20 Oktober menjadi akhir dari pada pemerintahan transisi, dan awal dari pemerintahan Gus Dur yang sering disebut juga pemerintahan reformasi. Pada awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh Presiden Wahid, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan investor, termasuk investor asing
menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan Gus Dur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim Orde Baru seperti KKN, supremasi hukum, hak asasi manusia (HAM), penembakan Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, peranan Angkatan Bersenjara Republik Indonesia (ABRI) di dalam politik, masalah disintegrasi, dan lainnya.
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif walupun tidak jauh dari 0%, dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi, dengan laju pertumbuhan hampir mencapai
5%. Selain  pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga yang diwakili oleh Sertifikat Bank Indonesia SBI juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi ketenangan masyarakat setelah Gus Dur terpilih sebagai presiden tidak berlangsung lama. Gus Dur mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Gus Dur cenderung bersikap diktator dan praktik KKN dilingkungannya semakin intensif, lukannya semakin berkurang yang mempakan salah satu tujuan dari pada gerakan reformasi. Ini berarti bahwa rezim Gus Dur walaupun namanya pemerintahan Reformasi di era demokrasi, tidak berbeda dengan rezim Orde Baru. Sikap Gus Dur tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan DPR yang klimaksnya adalah dikeluarkannya peringatan resmi kepada Gus Dur lewat Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Gus Dus terancam akan diturunkan dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia jika usulan percepatan Sidang Istimewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan Gus Dur, praktis tidak ada satupun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mecerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elit politik semakin besar.
Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah-masalah seperti amandemen UU No. 23 Tahun 1999 mengenai BI, penerapan otonomi daerah terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri, dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencarian bantuanya kepada pemerintah Indonesia,  pada hal roda perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara donor), karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi perekonomian-nya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru, jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet (Tambunan, 2006b).
Ketidakstabilan politik dan sosial yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikan tingkat country risk Indonesia. Hal ini ditambah lagi dengan buruknya hubungan antara pemerintah Indonesia dengan IMF membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanam modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa Gus Dur cenderung lebih buruk dari pada pada saat pemerintahan Habibie. Bahkan, lembaga pemeringkat internasional Moody's Investor Service rnengkonfirmasikan bertambah buruknya risiko negara Indonesia. Meski-pun beberapa indikator ekonomi makro rnengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial Iembaga ratinglainnya seperti Standard and Poors menurunkan prospek jangka panjang lndonesia dari stabil ke negarif.
Pada waktu itu, banyak orang menduga bahwa apabila kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif Gus Dur dan kabinetnya tidak menunjukkan keinginan politik yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip "once and for all”.Pernerintahan Gus Dur cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU BI, masalah desentralisasi fiskal, masalah restrukturisasi utang, dan masalah divestasi Bank Central Asia (BCA) dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang konrroversial dan inkonsisten, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi l5 negara (KTT G- 15) yang hanya 5 persen (nominalnya 75 persen) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya"sence of crisis" terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini.
Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator
ekonomi. Misalnya, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga B Maret 2001 menunjukkan tren pertumbuhan ekonomi yang negatif Dalam perkataan lain, selama periode tersebut, IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan dari pada kegiatan pembelian di dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat pada umumnya terhadap prospek perekonomian Indonesia paling tidak untuk periode jangka pendek.
Indikator kedua yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis (dan masyarakat pada umumnya) terhadap pemerintahan Gus Dur adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar. 7000, dan pada tanggal 9 Maret 2001 tercatat sebagai hari bersejarah sebagan awal kejatuhan rupiah, yang menembus level Rp 10.000 per dolar. Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia secara agresif terus melakukan intervensi pasar dengan melepas puluhan juta dolar AS per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun pada l2 Maret 2001, ketika Istana Presiden dikepung para demonstran yang menuntut Presiden Gus Dur mundur, dan nilai tukar rupiah semakin merosot.
Pada April 2001 sempat menyentuh Rp 12.000 per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia, mengalami dampak negatif terhadap roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih besar dari pada krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal. Pertama, perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada impor, baik untuk barang-barang modal dan pembantu, komponen, dan bahan baku, maupun barang-barang konsumsi. Kedua,ULN Indonesia dalam nilai dolar AS, baik dari sektor swasta maupun pemerintah, sangat besar. Indikator-indikator lainnya adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit, dan cadangan devisa yang pada minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 miliar dolar AS menjadi 28,875 dolar AS.
Setelah Presiden Wahid turun, Megawati menjadi presiden Indonesia yang keIima. Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk dari pada pada masa pemerintahan Gus Dur. Meskipun IHSG dan nilai tukar rupiah meningkat cukup signifikan sejak diangkatnya Megawati menjadi presiden melalui Sidang Istimewa (SI) MPR, posisinya tetap belum kembali pada tingkat pada saat Gus Dur terpilih menjadi presiden.
Keterpurukan kondisi ekonomi yang ditinggal Gus Dur kian terasa jika dilihat dari perkembangan indikator ekonomi lainnya seperti tingkat suku bunga, inflasi, saldo neraca pembayaran, dan defisit APBN. Suku bunga untuk SBI. Misalnya, pada awal pemerintahan Megawati mencapai di atas 17 persen, padahal saat awal pemerintahan Gus Dur hanya sekitar l3%. Bersamaan dengan itu, tingkat suku bunga deposito perbankan juga ikut naik menjadi sekitar 18 persen, sehingga pada masa itu menimbulkan kembali kekhawatiran masyarakat dan pelaku bisnis, bahwa bank-bank akan kembali melakukan bleeding.
Inflasi yang dihadapin Kabinet Gotrtng Royong,pimpinan Megawati juga sangat berat. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi tahunan pada awal pemerintahan Wahid hanya sekitar 2 persen, sedangkan pada awal pemerintahan Megawati, atau periode Januari-Juli 2001 tingkat inflasi sudah mencapai 7,7 persen. Bahkan laju inflasi tahunan yer on yer selamaperiode Juli 2000-Juli 2001 sudah mencapai 13,5 persen. Perkembangan ini pada saat itu sangat mengkhawatirkan karena dalam asumsi APBN 2001 yang sudah direvisi, pemerintah mentargetkan ingflasi dalam tahun 2001 hanya 9,4 persen.
Namun demikian, dalam era Megawati kinerja ekonomi Indonesia menunjukkan perbaikan, paling tidak dilihat dari laju pertumbuhan PDB. Seperti yang ditunjukkan ditabel 1.1 pada tahun-tahun 2002 PDB Indonesia tumbuh 4,3 persen dibandingkan 3,8 persen pada tahun sebelumnya, dan kemajuan ini berlangsung terus hingga akhir periode Megawati yang mencapai 5,1 persen. PDB nominal meningkat dari 164miliar dolar AS tahun 2001 menjadi 258 miliar dolar AS tahun 2004; demikisn juga pendapatan per kapita meningkat dengan persentase yang cukup besar dari 697 dolar AS ke 1.191 dolar AS selama periode Megawati. Kinerja ekspor juga membaik dengan pertumbuhan 5 persen tahun 2002 dibandingkan -9,3 persen tahun 2001, dan terus naik hingga mencapai 12 persen tahun 2004. Namun demikian, neraca perdagangan (NP), yakni saldo ekspor(X) - impor (M) barang, maupun transaski berjalan (TB), sebagi persentase dari PDB, mengalami penurunan.
 
 







   Sumber: BPS (http://www.bps.go.id).

Pada bulan-bulan pertama pemerintahan SBY,rakyat Indonesia, pelaku usaha luar dan negeri maupun negara-negara donor serta lembaga-lembaga dunia seperti IMF, Bank Dunia dan ADB sempat optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun ke depan akan jauh lebih baik dibandingkan pada masa pemerihtahan-pemerintahan sebelumnya sejak Soeharto lengser. Bahkan, kabinet SBY dan lembaga-lembaga dunia tersebut menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesiatahun 2005 akan berkisar sedikit di atas 6 %.Target ini dilandasi oleh asumsi bahwa kondisi polidk di Indonesia akan terus membaik dan faktor-faktor eksternal yang kondusif (tidak memperhitungkan akan adanya gejolak harga minyak di pasar dunia), termasuk pertumbuhan ekonomi dari motor-motor utama penggerak perekonomian dunia seperti AS,Jepang EU (Uni Eropa), dan china akan meningkat. Pada pertengahan kedua tahun 2005 ekonomi Indonesia diguncang oleh dua peristiwa yang tak terduga sama sekali, yaitu naiknya harga BBM di pasar internasional dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dua hal ini membuat realisasi pertumbuhan PDB tahun 2005 lebih rendah dari target tersebut.
Kenaikan harga BBM di pasar internasional (dari 45 dolar AS per barrel awal tahun 2005 menjadi 70 dolar AS per barrell), pada awal Agustus 2005 sangat tidak menguntungkan Indonesia, tidak seperti pada masa oil boom pertama tahun 1973 dan kedua awal dekade 80 an. Walaupun Indonesia merupakan salah'satu anggota dari organisasi negara-negara produsen minyak (OPEC), Indoneia juga impor BBM datam jurnlah yang semakin besar dalam beberapa tahun belakangan. Akibatriya, Indonesia bukan saja menjadi net oil importer, tetapi juga sudah menjadi negara pengimpor BBM terbesar di Asia, jauh melebihi impor BBM Jepang yang bukan penghasil minyak.
Tahun 2010 impor BBM Indonesia diprediksi akan mencapai sekitar 60 persen dan tahun 2015 akan menjadi sekitar 70 persen dari kebutuhan BBM dalam negeri (Kurtubi, 2005). Tingginya impor BBM Indonesia disebabkan oleh, di satu pihak, konsumen minyak dalam negeri yang meningkat pesat setiap tahunnya mengikuti pertumbuhan jumlah penduduk, perkembangan kegiatan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita, dan, di sisi lain, kapasitas kilang minyak di dalam negeri masih sangat terbatas. Menurut Kurtubi (2005), saat ini (September 2005), kekurangan kapasitas kilang Indonesia sekitar 400.000 barrel per hari.6
Kenaikan harga minyak ini menimbulkan tekanan yang sangat berat terhadap keuangan pemerintah (APBN). Akibatnya, pemerintah terpaksa mengeluarkan status kebijakan yang ,sangat tidak populis, yaitu mengurangi subsidi BBM, yang membuat harga BBM di pasar dalam negeri meningkat tajam Kenaikan harga BBM yang besar untuk industri terjadi sejak l Juli 2005. Harga solar untuk industri dari Rp 2.200 per liter menjadi Rp4.750 per liter (naik 115 persen). Tanggal 1 Agustus.2005, kenaikan harga minyak tanah untuk industri dari Rp 2.200 per liter menjadi Rp 5.490 per liter (naik 93 persen). Pada I Oktober 2005, pemerintah menaikkan lagi harga BBM yang berkisar intara 50 persen hingga 80 persen. Diperkirakan hal ini akan sangat berdampak negatif terhadap kegiatan ekonomi domestik, terutama pada periode jangka pendek karena biaya produksi meningkat.7
Secara teori, dampak negatif dari kenaikan harga BBM terhadap kegiatan atau pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan kemiskinan di ilustrasikan dalam suatu sistem keterkaitan di Gambar1.2. Kenaikan harga BBM di pasar dunia jelas akan membuat defisit APBN tambah besar seperti telah dijelaskan sebelumnya, ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM semakin besar. Defisit APBN yang meningkat selanjutnya akan mengurangi kemampuan pemerintah lewat sisi pengeluarannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara di sisi lain, kenaikan harga BBM akan mengurangi kegiatan produksi (Q) di dalam negeri akibat biaya produlsi (BP) meningkat, yang selanjutnya berdampak negatif terhadap ekspor (X) yang berarti pengurangan cadangan devisa (CD).
Menurunnya kegiatan ekonomi/produksi menyebabkan berkurangnya pendapatan usaha yang selanjutnya akan memperbesar defisit APBN karena pendapatan pajak berkurang. Harga BBM yang tinggi juga akan mendorong inflasi di dalam negeri. Semua ini akan berpengaruh negatif terhadap kesempatan.kerja atau akan meningkatkan pengangguran (U) dan kemiskinan (P). Kenaikan penganggutan atau kemiskinan juga menambah defisit APBN karena menurunnya pendapatan pemerintah dari pajak pendapatan, sementara di sisi lain, pengeluaran pemerintah terpaksa ditambah untuk membantu orang miskin. Juga peningkatan kemiskinan akan memperburuk pertumbuhan ekonomi lewat efek permintaan, yaitu permintaan di dalam negeri berkurang (Tambunan, 2006b).
Kenaikan harga minyak ini juga menjadi salah satu penyebab terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sudah berlangsung sejak Januari 2005 dengan volatilitas yang semakin tinggi, walaupun sempat ada perbaikan menjelang akhir April hingga sekitar pertengahan Mei 2005. Pada bulan Juli 2005, nilai rupiah sudah mendekati Rp 10.000 per satu dolarAS. Hingga akhir tahun 2005, rupiah diperkirakan akan tetap berada di atas Rp 9.500/dolarAS. Secara fundamental, terus melemahnya nilai tukar rupiah terkait dengan memburuknya kinerja BoP Indonesia, di samping adanya faktor sentimen penguatan dolar AS secara global. Pengaruh dari faktor-faktor non-ekonomi juga berperan terhadap melemahnya rupiah, terutama rasa ketidak percayaan masyarakat terhadap kondisi ekonomi di dalam negeri yang berlebihan yang rnembuat mereka .menukarkan rupiah dengan dolar AS, terutama mengenai perkiraan dampak negatif dari kenaikan harga minyak terhadap perekonomian nasional. Selain itu, sejak krisis ekonomi 1997-1998, faktor spekulasi juga memberi sumbangan yang besar terhadap gejolak rupiah. Kondisi tersebut menyebabkan permintaan dolar di pasar domestik meningkat. Sementara itu, pasokan dolar AS ke dalam negeri juga masih terbatas karena kecilnya ekspor neto.



Sesuai teori,dengan asumsi faktor-faktor lain tetap tidak berubah, melemahnya rupiah akan membuat ekspor Indonesia meningkat sedangkan impornya berkurang. Namun pengalaman Indonesia selama krisis ekonomi 1997-1998 menunjukkan, bahwa ekspor Indonesia ternyata tidak terlalu elastis terhadap pergerakan rupiah yang memberi indikasi adanya supply bottleneck yang serius di dalam negeri, dan masalah suplai ini hingga saat ini belum hilang sama sekali. Artinya, pengaruh dari melemahnya rupiah kali ini bisa sangat kecil terhadap peningkatan ekspor Indonesia. Sementara itu, Indonesia sudah sangat tergantung pada impor barang-barang kebutuhan pokok, suplai dari barang-barang konsumsi seperti makanan dan susu hingga barang-barang modal dan peralatan produksi serta bahan baku seperti minyak, yang membuat impor Indonesia juga kurang elastis terhadap pergerakan rupiah.
Kombinasi antara kenaikan harga BBM dan melemahnya nilai rupiah akan berdampak pada peningkatan laju inflasi. Menurut data perkiraan dan BI (Agustus 2005), inflasi dari indeks harga konsumen (IHK) cenderung berada pada tingkat yang cukup tinggi yaitu 7,42%. Sementara itu, menurut Citigroup, pada tahun 2005 inflasi di Indonesia berada pada tingkat6,2 persen, dan merupakan tertinggal di antata banyak negara di Asia. Secara fundamental, tingginya inflasi di Indonesia disebabkan oleh masih tingginya ekspektasi inflasi terkait dengan kebijakan pemerintah mengenai kenaikan administered prices dan perkembangan nilai tukar rupiah yang cenderung terus melemah. Melemahnya nilai tukar rupiah memberi tekanan terhadap inflasi di dalam negeri terutama karena tingginya ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap impor, namun dengan tingkat yang lebih rendah dibandingkan rata-rata historisnya. Seperti pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, pemerintahan SBY juga berusaha menahan tingkat inflasi serendah mungkin atau paling tidak tetap dalam satu digit. Gambar 1.3 menunjukkan perkembangan tingkat inflasi (baik dalam persentase tahunan(YoY) maupun dalam persentase bulanan (MoM) yaitu pergerakan rata-rata 3 bulanan (3MMA) selama periode Januari 2000 hingga Januari 2005.

 
 
































Menjelang akhir masa jabatan SBY pertama yang akan berakhir pada tahun 2009, perekonomian Indonesia menghadapi dua goncangan eksternal, yaitu harga BBM yang terus naik dan kenaikan harga pangan di pasar global. Kenaikan harga BBM yang terus menerus sejak tahun 2005 memaksa pemerintah menaikkan lagi harga BBM, terutama premium, di dalam negeri pada tahun 2008. Kedua goncangan eksternal tersebut sangat mengancam kestabilan perekonomian nasional, khususnya tingkat inflasi. Secara kumulatif inflasi pada periode Januari-Februari 2008 sudah mencapai 2,44 persen yang merupakan angka tertinggi sejak tahun 2003. Dengan inflasi year on year yang mencapai 7,4 persen maka ancaman inflasi yang lebih tinggi selama tahun 2008 bukanlah suatu hal yang mustahil.
Selain itu, pada periode 2008-2009 terjadi krisis ekonomi global yang berawal dari krisis keuangan di AS dan merembet ke sejumlah negaran maju lainnya seperti Jepang dan negara-negara di zona Euro (EU), yang pada akhirnya mengakibatkan suatu resesi ekonomi dunia. Krisis global ini yang membuat prmintaan dunia merosot juga berdampak pada perekonomian Indonesia terutama lewat penurunan ekspor dari sejumlah komoditi penting. Untungnya, dampaknya terhadap perekonomian nasional tidak separah seperti pada saat krisis keuangan Asia pada tahun 1997-l998 yang waktu itu membuat pertumbuhan ekonomi nasional negatif hingga mencapai sekitar 13 persen. Sedangkan krisis 2008-2009 tersebut hanya membuat laju pertumbuhan ekonomi nasional lebih rendah dari yang diharapkan namun tetap positif. Banyak faktor yang membuat perekonomian Indonesia lebih baik dalam menghadapi krisis 2008-2009 tersebut dibandingkan pada tahun 1997-1998 , diantaranya adalahkondisi perbankan nasional yang jauh lebih baik dari pada pada masa Orde Baru dan keberhasilan pemerintah dalam merespons krisis tersebut dengan tetap menjaga stabilitan nilai tukar rupiah dan menambah pengeluaran pemerintah yang dikenal dengan sebutan stimulus fiskal.

REFERENSI

Tambunan, Tirlus TH. (1996), Perekonomian Indonesin, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tambunan Tulus TH. (1998), Krisis Ekonomi Indonesian Penyebab dan Penanggulngnnya Jakartai, LP3E-Kadin Indonesia & Yayasan Indonesia Forum.
Tambunan Tulus T,H. (l998), Kisis Ekonomi dan Masa Depatn Reformasi, Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.



You may also like

No comments:

Powered by Blogger.