MAKALAH "IJTIHAD"

0 Comments
MAKALAH "IJTIHAD"


A.     Definisi Ijtihad
Secara etimologis, ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan atau memikul beban. Sedangkan secara terminologis, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ (hukum islam tentang suatu masalah dari sumber (dalil) hukum yang tafshily (rinci).[1]
Dalam makna sempit, Asy Syafi’i berpendapat bahawa ijtihad dan qiyas itu sama artinya. Maksudnya ijtihad hanyalah menjalankan qiyas, atau membandingkan sesuatu dengan hukum kepada sesuatu hukum yang lain.  Sedangkan dalam makna luas, Ahli Tahqiq berpendapat bahwa ijtihad adalah qiyas dan mengeluarkan (mengistinbathkan) hukum dari kaidah-kaidah sayra’ yang umum. Sebagian ulama Ushul juga berpendapat bahwa ijtihad ialah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara, dari Kitabullah dan Hadist Rasul.[2]
Terdapat pula beberapa pendapat yang dikutip dari buku Pengatar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Mardani, 2010), di antaranya:
1.       Kamus bahasa Arab al-Munjid susunan Ma’luf Al-Yasu’i Beirut  memberi arti pada ijtihad dengan mengatakan bahwa ijtihad ialah bersungguh-sungguh sehabis usaha.
2.       Menurut Abdul Hamid Hakim arti ijtihad dari segi teknis hukum ialah bersungguh-sungguh sekuat-kuatnya untuk mencapai hukum syar’i dengan jalan mengambil hukum dari Al-Quran dan Sunnah. Sedangkan menurut kata-kata atau bahasa, menurut A.Hamid Hakim, ijtihad berarti bersungguh-sungguh yaitu bersusah payah.
3.       Abdul A’la Al-Maududi mengatakan bahwa arti ijtihad dari segi pengertian hukum ialah maximum effort to ascertain, in a given problem or issue, the injunction of Islam and its real intend. Sedangkan menurut bahasa, maka kata-kata ijtihad berarti to put in the maximum of effort in performing a job.
4.       H.A.R. GIBB menyebut ijtihad sebagai suatu right of individual interpretation.
5.       Sayuti Thalib mengartikan ijtihad sebagai usaha yang bersungguh-sungguh untuk merumuskan garis hukum dari Al-Quran dan Sunnah Rasul.


B.      Kriteria dan Syarat-Syarat Ijtihad
Seseorang akan melakukan ijtihad , harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut[3] :
1.       Menguasai al-quran dengan segala ilmunya. Artinya memiliki ilmu pengtahuan yang luas tentang ayat-ayat al-quran terutama yang berusan dengan masalah hukum.
2.       Menguasau Sunnah Nabi dengan segalaa ilmunya. Artinya memiliki pengetahuan yang luas tentang Sunnah Nabi, terutama yang berkaitan dengan masalah hukum.
3.       Mengetahui dan menguasai masalah-maslah yang telah disepakati oleh para ulma, yaitu masalah yang telah menjadi ijma’.
4.       Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas dan imu logika, yang akan dipergunakan dalam proses Istinbath hukum.
5.       Menguasai bahasa Arab dengan segala ilmunya, karena Al-Quran dan as-sunnah sebagai sumber hukum tersusun dalam bahasa Arab.
6.       Memiliki pengetahuan yang mendalam tentang nasikh mansukh dalam Al-quran dan as-sunnah.
7.       Memiliki pengetahuan yang luas tentang ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah istinbath hukum.
8.       Memiliki pengetahuan tentang Asbab An-nuzul dalam ayat-ayat Al-Quran dan Asbab Al-wurud hadist untuk mengetahui latar belakang turunnya ayat atau keluarnya hadist Nabi, agar mampu menggali hukum dengan terhadap maslah yang dihadapinya.
9.       Mengetahui riwayat dan latar belakang para Rawi hadist, untuk menilai kualitas hadist terutama yang akan dijadikan landasan istinbath hukum.
10.   Memeiliki pengetahuna yang mendalam tentang maksud syari’ah (maqashid al-syar’i).
11.   Memiliki pengetehuan tentang manusia dan lingkungan temapt ia berijtihad , serta memiliki pengtahuan tentang masalah yang menjadi obyek ijtihad.
12.   Di samping syarat-syarat intelektual di atas, seorang yag akan berijtihad, ia juga harus memiliki sifat-sifat lain yang berkaitan dengan integritas dan moralitas pribadinya, yaitu niat yang ikhlas untuk mencari kebenaran, taqwa kepada Allah swt, dewasa, berakal, sehat jasmani dan rohani, adil, jujur dan sifat-sifat terpuji lainnya.

Al-Ghazali telah mengemukakan beberapa syarat bagi orang yang melakukan ijtihad. Secara gari besar ia membagi ijtihad menjadi dua kelompok. Pertama, syarat yang dikelompokkan sebagai syarat utama, yang mekiputi penguasaan terhadap materi hukum yang terdapat dalam sumber utama ajaran islam, berikut bahasa Arab sebgai alat untuk memahami sumber tersebut. Kedua, syarat yang dikelompokkan sebagai syarat yang pelengkap, yaitu mengaetahui nasikh mansukh, baik untuk al-quran maupun untuk hadis, dan mengetahi cara untuk menyeleksi atau mengklasifikasikan hadist sebagai sumber huku. Al-Syaukani menekankan pada adanya pengetahuan tentang ilmu ushu fiqih dan nasikh mansukh sebagai syarat ijtihad. Kemudian Al-Syathibi menambahkan syarat ijitihad lainnya yaitu keharusan mengetahui maksud disyari’atkannya hukum dalam islam (maqashidu al-syariat). Namun demikian tidak berarti bahwa ahli usul fiqih sebelum beliau tidak menyinggung sama sekali tentang persyaratan ini. Al-juwaini membahas maqashid Al-Syariat dalam kaitannya dengan pembahasan ‘illat dalam qiyas. Begitu juga muridya, Al-Ghazali menempatkan maqashid Al-Syariat dalam kaitannya dengan qiyas. Ada juga yang menjadikan ilmu kalam dan ilmu manthiq sebagai syarat berijtihad. Agaknya syarat terakhir ini dapat digolongkan sebagai pra-syarat untuk berijtihad. Betapapun harus diakui bahwa kedua ilmu itu ada pengaruhnya terhadap ilmu ushul fiqih.
Persyaratan seperti yang disebutkan di ats harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan ijtihad. Bahkan untuk sekarang iniilmu lainnya juga perlu dimiliki oleh mujtahid, seperti  sosiologi, antropologi dan pengetahuan tentang masalah yang akan ditetapkan hukumnya.ilmu-ilmu ini menjadi penting artinya manakala maslah yang akan ditetapkan hukumnnya itu adalah masalah-masalah konemporer yang tidak ditunjuk secara jelas oleh teks Al-Qurandan hadis. Jika yang akan ditetapkan hukumnya itu adalah masalah yang berkaitan dengan ilmu kedokteran, maka mujtahid diharapkan dapat memahami ilmu itu, terutama yang lansung berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas. Begitu pula halnya dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan ekonomi dan lain-lainya.
Memang disadari, bahwa di satu sisi, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengetahui imu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu lainnya akan semakin mudah, tapi di sisi lain justru semakin ketatnya spesialisasi dalam berbagai disiplin ilmu. Hal ini akan berpenaruh terhadap penguasaan seseorang tentang aneka macam ilmu pengetahuan termasuk ilmu agama islam. Karena itu dapat dikatakan bahwa persyaratan ijtihad di atas sulit akan terwujud pada seseorang. Jalan keluarnya, maka sekarang ijtihad tidak lagi mengambil ijtihad perorangan melainkan dalam bntuk ijtihad kolektif yang terdii dari para ahli di bidangnya masing-masing. Kelompok ini terdiri dari berbagai ahli di bidang agama islam, dengan segala pembidangannya, dan ahli dalam ilmu lain yang erat kaitanya. Baik langsung ataupun tidak langsung, dengan masalah yang sedang dibahas. Itulah yang dimaksud denganijtihad jama’i . hampir dapat dipastikan bahwa ijtihad perorangan (ijtihad fardi) sulit untuk dapa dilakukan lagi pada masa sekarang.
Wujud konkrit dari lembaga ijtihad kolektif sebenarnya sudah banyak, baik yang bersifat nasional, regional bahkan internasional.  Majma Al-Buhfis Al-Islamiyyah. Yang berkdudukan di Kairo misalnya, merupakan lembaga ijtihad kolektif yang bersifat  nasional sudah banyak bermunculan di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama islam. Di indonesia, disamping komisi fatwa Majlis Ulama Indonesia, juga terdapat pada organisasi-organisasi islam dengan berbagai namanya. Muhmammadiyah termasuk organisasi islam di Indonesia yang mempunyai lembaga ijtihad kolektif ini. Lembaga itu dikenal dengan istilah Majlis Tarjih Muhammadiyah.[4]

C.     Fatwa dan Karakteristiknya
1.       Kehujjahan Ijtihad
Ijtihad sebagai upaya untuk menemukan hukum tentang suatu maslah yang belum disebutkan secara khusus dalam nash, merupakan kegiatan yang dibenarkan bahkan dianjurkanoleh Allah swt sebagaipencipta syari’at dan rasulNya. Pembenaran dan anjuran ijtihad itu didasarkan atas petunjuk-petunjuk yang dapat kita baca dalam al-quran dan sunah rasulNya.[5]
Petunjuk-petunjuk itu antara lain:
a.       QS. An Nisa : 59
“...Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasu (sunnahnya)...”
b.       QS An Nisa : 83
“Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang  yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri. Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).”
c.       QS Asy- Syura: 38
“dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
d.       QS Ali Imran: 159
“Maka berkat Rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah menjauhkan diri dari sekitarmu, karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”
e.       QS AL-Hasyr: 2
“Dan Allah menanamkan rasa takut ke dalam hati mereka, sehingga mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangannya sendiri dan tangan-tangan orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”
f.        Dalam hadis Nabi disebutkan bahwa ketika Nabi mengutuskan Muadz bin Jabal menjadi qadli (hakim) di Yaman, Nabi bertanya kepada Muadz sebagai berikut :
Bagaimana engkau menetapkan hukum apabila dihadapkan kepada engkau suatu masalah. Muadz menjawab: saya putuskan berdasarkan Kitabullah (al-Quran). Rasul bertanya: bila engkau tidak temukan dalam Kitabullah? Jawab Muadz: saya putuskan dnengan Sunah Rasulullah. Kemudian Rasul bertanya lagi : kalau dalam Sunnah Rasulullah pun tidak enkau temukan? Muadz menjawab: saya akan berijtihad dengan pemikiran saya dan tidak akan saya lambatkan. Kemudian Rasul mengusap dada Muadz, sambil berkata: segala Puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah sebagaimana telah direstui oleh Rasulullah. (HR Abu Daud dan Tirmidzi).
g.       Hadist Nabi:
Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap hal yang salah (HR. Tirmidzi).
h.       Hadist Nabi:
Apabila hakim telah memutuskan hukum dan ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika ijtihadnya keliru maka ia mendapat satu pahala (HR Bukhari Muslim).

2.         Tingkatan Ijtihad
Para ahli ushul fiqih sepakat baha lapangan ijtihad hanya berlaku dalam kasus yang tidak terdapat dalam nash atau yang terdapat dalam teks Al-Quran dan Hadist yang masuk kategori Zhanni Al-dalalat. Karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa ijtihad adalah mencari hukum suatu kasus yang sudah terdapat dalam nash qath’i tidak dapat begitu saja diterima oleh mereka. Kalau ditelusuri ijitihad ahli fiqih dari zaman ke zaman, ternyata mereka tidak memasuki lahan yang sudah diatur jelas oleh Al-Quran dan Hadis. Kalaupun Umar bin Khatab sering dianggap sebagai orang yang memasuki lahan tersebut, namun ia tidak melakukan ijtihad istinbathi, melainkan ijtihad tathbitqi. Dalam ijtihad tathbiqi dimungkinkan untuk tidak memberlakukan nash tertentu dikarenakan adanya nash lain yng menghendaki demikian. Misalanya, Umar bin Khatab melarang laki-laki muslim menikah dengan wanita ahli kitab, dengan khawatir akan menimbulkan fitnah bagi wanita muslimah. Padahal nash Al-Quran membolehkannya.[6]
Sehubungan dengan ijtihad terhadap teks Al-Quran dan Hadist yang penunjukannya bersifat zhanni, di kalangan ahli ushul fiqih dikenal adanya metode ta’wil. Ta’wil dalam arti umum dikenal pula oleh para teolog dan filosof muslim. Melalui ta’wil itulah mereka yang disebut terakhir ini mengembangkan pemikiran dan pendapatnya. Meskipun konsep ta’wil di kalangan ushul fiqih tidak seliberal teolog dan filosof, tetapi ternyata metode ini cukup berarti alam menyelsaian masalah-masalah fiqih. Bahkan Abu Zahrah menyatakan bahwa ta’wil termasuk aspek-aspek istinbath yang piawai dalam menangani masalah hukum.
Dari uraian ringkas di atas dapat dipahami bahwa ijtihad dalam ilmu fiqih meliputi masalah-masalah yang secara eksplisit tidak terdapat dalam al-Quran dan Hadist dan masalah-masalah yang terdapat dalam kedua sumber tersebut, tetapi termasuk kedalam Zhanni Al-Dalalah, baik masalah yang termasuk kategori pertama maupun kedua perlu ditangani dengan cara merujuk pada sumber utama ajaran islam, Al-Quran dan Hadis, kemudian menginterpretasikannya sesuai dengan masalah yang sedang diselsaikan. Interpretasi itu dilakukan denganmemperhatikan jangkauan arti lafal atau kalimat yang terdapat di dalam teks Al-Quran dan Hadis. Dalam kaitan ini Fathi Al-Darimi menyatakan, bahwa ijtihad memerlukan analisis yang tajam terhadap nash serta jiwa yang terkandung di dalamnya, dengan memperhatikan aspek kaidah kebahasaan dan tujuan uum disyari’atkan hukum dalam islam.[7]
Jadi kesimpulannya, Ijtihad itu dua tingkatannya:
a.       Ijtihad Darakil Ahkam (menciptakan hukum yang belum ada)
b.       Ijtihad Tahbiqil Ahkam (menerapkan hukum  atau kaidah atas segala tempat yang menerimanya).[8]


D.     Perubahan dan Pembatalan Hasil Ijtihad
Kaidah yang harus kita pegangi dalam membatasi lapangan ijtihad.  Apabila nash yang kita hadapi, tegas (sharih) lagi qath’i wurudnya dan dalalahnya, maka kita tidak boleh berijtihad; kita wajib menerapkan sebagaimana yang dikehendaki oleh nash itu; karena qath’i wurudnya, dia tak dipersoalkan lagi, dan karena qath’i dalalahnya, tak ada tempatnya lagi kita membahas maknanya.
Diantara yang demkian, ialah : ayat-ayat ahkam mufashalah dan muhkamah, seperti firman Allah: “perizinan wanita dan perizinan laki-laki, cambuklah masingmasing 100 kali”.
Apabila nash yang kita hadapi, dhanni wurudnya, atau dalalahnya, maka terhadap hal itu diperlukan ijtihad. Untuk terbentuknya hukum para mujtahidin harus membahas dalil itu dari segi sanad dan jalan sampainya kepada kita dan dari aspek dalalahnya kepada makna dengan jalan-jalan: qiyas-istihsan-istishab-istishlah.
Ringkasnya, ijtihad meliputi:[9]
1.       Masalah yang belum bisa disebutkan atau belum ada hukumnya secara khusus dalam nash (al-quran dan as-sunnah).
2.       Masalah yang sudah ada dalilnya dalam nash. Yaitu masalah yang sudah ada dalilnya dalam nash, namun dalil tersebut bersifat dzanny. Artunya hukum yang ditunjuk oleh dalil tersebut, memungkinkan dipahami berbeda oleh para mujtahid, disebabkan karena dalil tersebut dzanny dilalat atau dzanny al-wurud atau kedua-duanya.

Bidang ijtihad sangatlah luas dalam soal-soal yang tidak ada nash. Dalam soal-soal yang telah ada nash, tidak ada ijtihad lagi. Para ulama berkata: tidak ada ijtihad pada tempat-tempat yang telah ada nash.[10]




REFERENSI

Ash Shiddhieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Djamil, Fathurrahman. 1995. Metode Ijtihad Majlis Tajrih Muhammadiyah. Jakarta: Logos Publishing House.
Mardani. 2010. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Usman, Suparman. 2001. Hukum Islam: Asas-Asas Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama.



[1] Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-Asas Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 51.
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddhieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, Cetakan Pertama, Edisi Kedua, 1997), hlm. 50.
[3] Suparman Usman, op.cit., hlm. 55.
[4] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tajrih Muhammadiyah, Cetakan kesatu, (Jakarta: Logos Publishing House, 1995), hlm. 16.
[5] Ibid., hlm. 53
[6] Mardani, op.cit. hlm. 143.
[7] Fathurrahman Djamil, op.cit., hlm.15.
[8] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddhieqy, op.cit., hal.65.
[9] Suparman Usman, op.cit., hlm. 51.
[10] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddhieqy, op.cit., hal.52.
[11] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddhieqy, op.cit., hal.51.


You may also like

No comments:

Powered by Blogger.