MAKALAH "SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABAD KE-3"

1 Comments
MAKALAH "SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABAD KE-3"


A.    Tokoh Pemikir Ekonomi Islam Abad Ke-3 H / 9 M
1.      Ahmad Bin Hanbal (164-241 H)
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Beliau lahir di Baghdad  tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal - menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H. Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibu beliau berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan. Beliau wafat pada tahun 241 H.
2.      Yahya Bin Umar (213-289 H)
Yahya bin Umar merupakan salah satu fuqaha mazhab Maliki. Ulama yang bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al Kannani Al Andalusi ini lahir pada tahun 213 H. dan dibesarkan di Kordova, Spanyol. Seperti para cendekiawan terdahulu, ia berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Akhirnya, Yahya bin Umar menetap di Qairuwan, Afrika, dan menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman Al-Farisi.
Dalam perkembangan selanjutnya, ia menjadi pengajar di Jami’ Al-Qairuwan. Beliau kemudian berpindah ke Sausah serta mengajar di Jami’ Al-Sabt hingga akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H.(901 M.).

B.     Pemikiran Ekonomi Islam Abd Ke-3H/ 9M
1)      Pemikiran Ekonomi Islam Ahmad Bin Hanbal
Abu Zahra menyampaikan pandangan Imam Ahmad yang mewakili pendekatan Islam dalam memenangkan persaingan yang adil di dalam pasar. Imam Ahmad mencela seorang penjual yang menurunkan harga barang untuk mencegah orang lain membeli barang yang sama pada pesaingnya. Seorang penjual yang menurunkan harga akan memonopoli komoditi tersebut dan jika persaingan sudah tidak ada, dia bisa mengatur harga sesukanya. Sehingga penguasa harus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Imam Ahmad menginginkan agar hukum menangani kasus-kasus demikian untuk mencegah monopoli dan praktek yang tidak menyenangkan lainnya.
Pemikiran lainnya yaitu mengakui kebebasan maksimal dalam kontrak dan perusahaan. Imam Ahmad membolehkan syarat-syarat ke dalam kontrak-kontrak yang sekolah hukum Islam lainnya pada masanya tidak mengijinkan. Beliau merasa bebas menggunakan konsep maslaha terhadap masalah-masalah yang tidak ada tuntunan. Metodenya lebih menarik untuk mempromosikan kepentingan kaum lemah dan miskin. Beliau juga mewajibkan para pemilik rumah untuk menyediakan penampungan bagi mereka yang tidak memiliki tempat beristirahat.
2)      Pemikiran Ekonomi Islam Yahya Bin Umar
Menurut Yahya bin Umar, aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketakwaan seorang muslim kepada Allah SWT. Hal ini berarti bahwa ketakwaan merupakan asas dalam perekonomian Islam, sekaligus faktor utama yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Oleh karena itu, di samping Al Qur’an, setiap muslim harus berpegang teguh pada sunnah dan mengikuti seluruh perintah Nabi Muhammad saw. dalam melakukan setiap aktivitas ekonominya.
Penekanan pemikiran ekonomi Yahya bin Umar adalah pada masalah Penetapan Harga (Al-Tas’ir). Ia berpendapat bahwa penetapan harga tidak boleh dilakukan. Hujjahnya adalah mengenai kisah para sahabat yang meminta Rasulullah untuk menetapkan harga karena melonjaknya harga barang namun ditolak oleh Rasulullah dengan alasan Allah-lah yang mengusai harga. Dalam konteks ini, penetapan harga yang dilarang oleh Yahya bin Umar adalah kenaikan harga karena interaksi permintaan dan penawaran. Namun jika harga melonjak karena kesalahan manusia maka pemerintah mempunyai hak intervensi untuk kesejahteraan masyarakat.
Lebih luas lagi mengenai larangan penetapan harga, Yahya bin Umar mengijinkan pemerintah melakukan intervensi apabila :
1)      Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan yang dibutuhkan masyarakat sehingga dapat merusak mekanisme pasar. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengeluarkan para pedagang tersebut dari pasar serta menggantikannya dengan para pedagang yang lain berdasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan umum.
2)      Para pedagang melakukan praktik Siyasah Al-Ighraq atau banting harga (Dumping) yang dapat menimbulkan persaingan tidak sehat dan dapat mengacaukan stabilitas harga. Dalam hal ini, pemerintah berhak memerintahkan para pedagang tersebut untuk menaikkan kembali harganya sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Apabila mereka menolaknya, pemerintah berhak mengusir para pedagang tersebut dari pasar.
Sekalipun tema utama yang diangkat dalam kitabnya, Ahkam Al Suq, adalah mengenai hukum-hukum pasar, pada dasarnya, konsep Yahya bin Umar lebih banyak terkait dengan permasalahan Ihtikar dan Siyasah Al Ighraq. Dalam ilmu ekonomi kontemporer, kedua hal tersebut masing-masing dikenal dengan istilah Monopoly’s Rent-Seeking dan Dumping.
Berikut adalah wawasan modern Yahya bin Umar yang dikemukakan pada masanya.
1)      Ihtikar (Monopoly’s Rent-Seeking)
Islam secara tegas melarang praktek Ihtikar, yakni mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi. Berdasarkan hukum ekonomi, maka: ”Semakin sedikit persediaan barang di pasar, maka harga barang semakin naik dan permintaan terhadap barang semakin berkurang.” Tentang Ihtikar, Yahya bin Umar menyatakan bahwa timbulnya kemudaratan terhadap masyarakat merupakan syarat pelarangan penimbunan barang. Apabila hal tersebut terjadi, barang dagangan hasil timbunan tersebut harus dijual dan keuntungan dari hasil penjualan ini disedekahkan sebagai pendidikan terhadap para pelaku Ihtikar.
Para ulama sepakat bahwa pengharaman Ihtikar adalah karena dapat menimbulkan kemudharatan bagi manusia. Sedangkan kemudlaratan merupakan sesuatu yang harus dihilangkan. Implikasi lebih jauh, Ihtikar tidak hanya akan merusak mekanisme pasar, tetapi juga akan menghentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain dan dapat menghambat proses distribusi kekayaan di antara manusia, sebab konsumen masih harus membayar harga produk yang lebih tinggi dari ongkos marjinal. Dengan demikian praktek Ihtikar akan menghambat kesejahteraan umat manusia. Sebuah aktivitas ekonomi baru akan dapat dikatakan sebagai Ihtikar jika memenuhi setidaknya dua syarat berikut:
 Pertama, objek penimbunan merupakan barang-barang kebutuhan masyarakat.
Kedua, tujuan penimbunan adalah untuk meraih keuntungan di atas keuntungan normal.
2)      Siyasah Al-Ighraq (Dumping Policy)
Siyasah Al-Ighraq (dumping) adalah sebuah aktivitas perdagangan yang bertujuan untuk mencari keuntungan dengan jalan menjual barang pada tingkat harga yang lebih rendah dari harga yang berlaku di pasaran. Perilaku seperti ini secara tegas dilarang oleh agama karena dapat menimbulkan kemudlaratan bagi masyarakat. Siyasah Al-Ighraq dilakukan oleh seseorang dengan maksud agar para saingan dagangnya mengalami kebangkrutan. Dengan demikian ia akan leluasa menentukan harga di pasar. Siyasah Al Ighraq atau banting harga dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga di pasar.
Dalam kondisi seperti ini pemerintah mempunyai otoritas untuk memerintahkan para pedagang tersebut agar menaikkan kembali harga barang sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Apabila mereka tidak mau mentaati aturan pemerintah, maka pemerintah berhak mengusir para pedagang tersebut dari pasar. Hal ini pernah dipraktekkan Khalifah Umar bin Khattab, ketika mendapati seorang pedang kismis yang menjual barang dagangannya di bawah standart harga di pasar. Maka Khalifah Umar bin Khattab memberikan pilihan kepada pedagang tersebut; menaikkan harga sesuai dengan harga standart di pasar atau keluar dari pasar.
C.    karya-karya pemikir ekonomi islam abad ke-3H/ 9M
1.      Karya-Karya Ahmad Bin Hanbal
Semasa hidupnya beliau menyibukkan diri untuk mencari ilmu, memberi fatwa dan pencatatan hadits. Orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah Al-Qadhi Abu Yusuf, murid / rekan Imam Abu Hanifah. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu dari Imam Syafi‘i. Imam Syafi’i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, Al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan Al-Mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam Al-Qur’an, tentang jawaban-jawaban dalam Al-Qur’an.
Kitab-kitab yang beliau susun diantaranya adalah kitab al-Manasik ash-Shagir dan al-Kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-Zindiqah (Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
2.      Karya-Karya Yahya Bin Umar
Semasa hidupnya, di samping aktif mengajar, Yahya bin Umar juga banyak menghasilkan karya tulis hingga mencapai 40 juz. Di anatara beberapa karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muntakhabah fi Ikhtishar al Mustakhrijah fi al fiqh al Maliki dan kitab Ahkam al Suq.
Kitab Ahkam Al Suq ini merupakan kitab pertama di Dunia Islam yang khusus membahas hisbah dan berbagai hukum pasar, satu penyajian materi yang berbeda dari pembahasan–pembahasan fiqh pada umumnya, salah satu hal yang memengaruhinya adalah situasi kota Qairuwan. Pada saat itu, kota tersebut telah memiliki institusi pasar yang permanen sejak tahun 155 H. dan para penguasanya, mulai dari masa Yazid bin Hatim Al Muhibli hingga sebelum masa Ja’far al Manshur, sangat memerhatikan keberadaan institusi pasar. Dengan demikian, pada masa Yahya bin Umar, kota Qairuwan telah memiliki dua keistimawaan, yaitu:
1)      Keberadaan institusi pasar mendapat perhatian khusus dan pengaturan yang memadai dari para penguasa.
2)      Dalam lembaga peradilan, terdapat seorang hakim yang khusus menangani berbagai permasalahan pasar.
Tentang kitab Ahkam Al Suq, Yahya bin Umar menyebutkan bahwa penulisan kitab ini dilatarbelakangi oleh dua persoalan mendasar, yaitu:
Pertama, hukum syara’ tentang perbedaan kesatuan timbangan dan takaran perdagangan dalam satu wilayah.
Kedua, hukum syara’ tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuaan liberalisasi harga, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudaratan bagi para konsumen. Dengan demikian, kitab Ahkam Al Suq sebenarnya merupakan penjelasan dari jawaban kedua persoalan tersebut.
Dalam membahas kedua persoalan itu, yahya bin umar menjelaskan secara komprehensif yang disertai dengan diskusi panjang, Sebelum menjawabnya, ia menulis mukaddimah secara terperinci tentang berbagai tanggung jawab pemerintah, seperti kewajiban melakukan inspeksi pasar, mengontrol dan takaran, serta mengungkapkan perihal mata uang. Yahya bin umar diyakini mengajarkan kitab tersebut untuk pertama kalinya di kota Sausah pada masa pasca konflik.

 REFERENSI 
Karim, Abdurrahman. 2012. Sejarah Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT        RajaGrafindo Persada.

___________________. 2002. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: IIIT.


You may also like

1 comment:

Powered by Blogger.