MAKALAH "MEKANISME PENGELOLAAN ZAKAT"


A.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat [[1]]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 38 TAHUN 1999
TENTANG
PENGELOLAAN ZAKAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.       Bahwa Republik Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadat menurut agamanya masing-masing;
b.      Bahwa penunaian zakat merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan hasil, pengumpulan zakat merupakan sumber daya yang potensial bagi upaya mewujudkan, kesejateraan masyarakat;
c.       Bahwa zakat merupakan penata keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan memperhatikan masyarakat yang kurang mampu;
d.      Bahwa upaya penyempurnaan sistem pengelolaan zakat perlu terus ditingkatkan agar pelaksanaan zakat lebiih berhasil guna dan berdayaguna serta pelaksanaan zakat dapat dipertanggungjawabkan;
Mengingat:
a.       Pasal 5, ayat (1), pasal 20 ayat (1), pasal 29, dan pasal 34 Udang-Undang Dasar 1945
b.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara;
c.       Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lemabaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3400);
d.      Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839)
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG_UNDANG TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1.      Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengoragnisaisan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat.
2.      Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentua agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
3.      Muzakki adalah orasng atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat
4.      Mustahiq adalah orang atau badan yang berhak menerima zakat.
5.      Agama adalah agama islam
6.      Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang agama.
Pasal 2
Setiap warga negara Indonesia yang beragama islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang muslim berkewajiban menunaikan zakat.


Pasal 3
Pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq, dan amil zakat.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 4
Pengelolaan pajak berasaskan iman, dan taqwa, keterbukaan, dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Pasal 5
Pengelolaan zakat bertujuan:
(1)   meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama;
(2)   meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial;
(3)   meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
BAB III
ORGANISASI PENGELOLAAN ZAKAT
Pasal 6
(1) Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah;
(2) Pembentukan badan amil zakat;
a. nasional oleh Presiden atas usul Menteri;
b. daerah propinsi oleh gubernur atas usul kepala kantor wilayah departemen agama propinsi
c. daerah kabupaten atau daeraah kota oleh bupati atau walikota atas usul kepala kantor departemen agama kabupaten atau kota;
d. kecamatan oleh camat atas usul kepala kantor urusan agama kecamatan
(3) Badan amil zakat di semua tingkatan memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif, konsultatif, dan informatif.
(4) Pengurus amil zakat terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu.
(5) Organisasi badan amil zakat terdiri atas unsur pertimbangan, unsur pengawas, dan unsur pelaksana.
Pasal 7
(1) Lembaga amil zakat dilakukan, dibina, dan dilindungi oleh pemerintah.
(2) Lembaga amil zakat sebagaimana dimaksudkan dalam pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 8
Badan amil zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan lembaga amil zakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal7 mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
Pasal 9
Dalam melaksanakan tugasnya, badan amil zakat dan lembaga amil zakat bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan tingkatannya.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja badan amil zakat ditetapkan dengan keputusan Menteri.
BAB IV
PENGUMPULAN ZAKAT
Pasal 11
(1) Zakat terdiri dari atas zakat mal dan zakat fitrah.
(2) Harta yang dikenai zakat adalah:
a. emas, perak, dan uang;
b. perdagangan dan perusahaan
c. hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan;
d. hasil pertambangan;
e. hasil peternakan;
f. hasil pendapatan dan jasa;
g. rikaz.
(3) Penghitungan zakat mal menurut nishab, kadar, dan waktunya ditetapkan berdasarkan hukum agama
Pasal 12
(1) Pengumpulan zakat dilakukan oleh badan amil zakat dengan cara menerima atau mengambil dari muzakki atas dasar pemberitahuan muzakki.
(2) Badan amil zakat dapat bekerja sama dengan bank dalam pengumpulan zakat harta muzakki yang berada di bank atas permintaan muzakki.
Pasal 13
Badan amil zakat dapat menerima harta selain zakat, seperti infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat.
Pasal 14
(1) Muzakki melakukan penghitungan sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya berdasarkan hukum agam.
(2) Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri hartanya dan kewajiban zakatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), muzakki dapat meminta bantuan kepada badan amil zakat atau badan amil zakat memberikan bantuan kepada muzakki untuk menghitungnya.
(3) Zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh badan amil zakat ditetapkan dengan keputusan Menteri.
BAB V
PENDAYAGUNAAN ZAKAT
Pasal 16
(1) Hasil pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama.
(2) Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala perioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif.
(3) Persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan keputusan menteri.
Pasal 17
Hasil penerimaan infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan karafat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 didayagunakan tertama untuk usaha yang produktif.
BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 18
(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas badan amil zakat dilakukan olehunsur pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5).
(2) Pimpinan unsur pengawas dipilih langsung oleh anggota.
(3) Unsur pengawas berkedudukan disemua tingkatan badan amil zakat.
(4) Dalam melakukan pemeriksaan keuangan badan amil zakat, unsur pewngawas dapat meminta bantuan akuntan publik.
Pasal 19
Badan amil zakat memberikan laporan tahunan p[elaksanaan tugasnya kepada Dewan Perwakian Rakyat Republik Indonesia atau kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengantingkatannya.
Pasal 20
Masyarakat dapat berperan serta dalam pengawasan badan amil zakat dan lembaga amil zakat.
BAB VII
S A N K S I
Pasal 21
(1) Setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakatnya, infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris, dan karafat sebagaiman dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 12 dan Pasal 13 dalam undang-undang ini diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 30.000.000.00(tiga puluh juta rupiah).
(2) Tindak pidana yang dimaksud pada ayat (1) diatas merupakan pelanggaran.
(3) Setiap petugas badan amil zakat dan petugas lembaga amil zakat yang melakukan tindak pidana kejahatan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VIII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pasal 22
Dalam hal muzakki berada atau menetap di luar negeri, pengumpulan zakatnya dilakukan oleh unit pengumpul;an zakat padaperwakilan Republik Indonesia, yang selanjutnya diteruskan kepada badan amil zakat Nasional.
Pasal 23
Dalam menunjang pelaksanaan tugas badan amil zakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, pemerintah wajib membantu biaya operasional badan amil zakat.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 24
(1) Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan zakat masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Selambat-lambatnya dua tahun sejak diundangkannya undang-undang ini, setiap organisasi pengelolaan zakat yang telah ada wajib menyesuaikan menurut ketentuan undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan di jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MULADI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1999 NOMOR 164



B.     Pengelolaan Zakat dalam Perspektif Peran Negara [[2]]
Sejak tahun 1990-an zakat yang merupakan salah satu instrumental Islam yang strategis dalam pembangunan ekonomi semakin populer di Indonesia. Indikasi positif ini selain disebabkan oleh kesadaran menjalankan perintah agama di kalangan umat Islam semakin meningkat dan menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Bahkan setelah itu dorongan untuk membayar zakat juga datang dari pemerintah dengan dikeluarkannya perangkat perundang-undangan berupa UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat.
Sebenarnya gerakan zakat di tanah air sudah menjadi isu nasional pada era pemerintahan Presiden Soeharto. Dalam peringatan isra mi’raj tanggal 26 Oktober 1968 di Istana Negara menyampaikan bahwa sebagai pribadi ia bersedia untuk mengurus pengumpulan zakat secara besar-besaran, mengumumkan penerimaan dan mempertanggung jawabkan penggunaannya. Dalam berbagai kesempatan Presiden Soeharto mengulangi kembali ajakannya kepada umat Islam untuk menumpulkan zakat. Ketika pada tahun 1967 RUU Zakat akan dimajukan ke DPR, menteri Keuangan Frans Seda waktu itu menjawab secara tertulis kepada menteri agama bahwa peraturan mengenai zakat tidak perlu dituangkan dalam undang-undang, tetapi cukup dengan peraturan menteri saja. Tidak lama setelah keluarnya Peraturan Menteri Agama tentang Pengumpulan dan Pengelolaan Zakat, Presiden Soeharto mengumumkan kesediaan menjadi amil zakat bagi umat Islam di Indonesia.
Ketika keinginan untuk melibatkan pemerintah dalam pengumpulan zakat mengemuka dalam Rakernas MUI tahun 1990, hal tersebut dikonsultasikan dengan Presiden Soeharto oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali, mengingat kepala negara dulu pernah bersedia menjadi amil zakat, tetapi kurang mendapat respon secara luas dari umat Islam di tanah air ketika itu.
Presiden Soeharto tidak lagi bersedia menjadi amil, tetapi memberikan petunjuk agar pengelolaan zakat diserahkan ke tiap-tiap Propinsi dengan melibatkan kepala daerah dalam pengumpulan dan pengelolaan zakat sesuai prinsip otonomi daerah. Sedangkan lembaga atau Badannya bersifat non pemerintah untuk menghindari dualisme di dalam pengelolaan zakat dan pajak.
Pada periode kepemimpinan empat Presiden pasca Soeharto, gerakan monumental zakat di tanah air dapat dicatat sebagai berikut : (a) Presiden B. J. Habibie pada tanggal 23 September 1999 atas persetujuan DPR telah mensahkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. (b) Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 17 Januari 2001 mengeluarkan  Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat nasional (c) Presiden Megawati Soekarno Putri pada tanggal 2 Desember 2001 melakukan pencanangan Gerakan Sadar Zakat dalam acara peringatan Nuzulul Qur’an di Masjid Istiqlal Jakarta. (d) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 26 Oktober 2005 melakukan pencanangan Gerakan Zakat Infak dan Shadaqah Nasional dan mengukuhkan Kepengurusan BAZNAS periode 2004-2007 di Istana Negara.
Dari keterangan di atas nampaknya Pemerintah setidaknya semasa dipimpin oleh lima orang presiden menunjukkan peran yang besar dalam menggairahkan zakat di tanah air. Untuk lebih memerinci perkembangan kebijakan pemerintah dalam sejarah pengelolaan zakat di Indonesia, terdapat beberapa tahapan sejarah yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1.      Sebelum Kelahiran UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
  1. Pengelolan Zakat di Masa Penjajahan
Zakat sebagai bagian dari ajaran Islam wajib ditunaikan oleh umat Islam terutama yang mampu (aghniya’), tentunya sudah diterapkan dan ditunaikan oleh umat Islam Indonesia berbarengan dengan masuknya Islam ke Nusantara. Kemudian ketika Indonesia dikuasai oleh para penjajah, ara tokoh agama Islam tetap melakukan mobilisasi pengumpulan zakat. Pada masa penjajahan Belanda, pelaksanaan ajaran Islam (termasuk zakat) diatur dalam Ordonantie Pemerintah Hindia Belanda Nomor 6200 tanggal 28 Pebruari 1905. Dalam pengaturan ini pemerintah tidak mencampuri masalah pengelolaan zakat dan menyerahkan sepenuhnya kepada umat Islam dan bentuk pelaksanaannya sesuai dengan syari’at Islam.
  1. Pengelolan Zakat di Awal Kemerdekaan
Pada awal kemerdekaan Indonesia, pengelolaan zakat juga diatur pemerintah dan masih menjadi urusan masyarakat. Kemudian pada tahun 1951 barulah Kementerian Agama mengeluarkan Surat Edaran Nomor : A/VII/17367, tanggal 8 Desember 1951 tentang Pelaksanaan Zakat Fithrah. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama hanya menggembirakan dan menggiatkan masyarakat untuk menunaikan  kewajibannya melakukan pengawasan supaya pemakaian dan pembagiannya dari pungutan tadi dapat berlangsung menurut hukum agama. Pada tahun 1964, Kementerian Agama menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelaksanaan Zakat dan Rencana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (RPPPUU) tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan Pembagian Zakat serta Pembentukan Bait al-Mal, tetapi kedua perangkat peraturan tersebut belum sempat diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun kepada Presiden.

  1. Pengelolaan Zakat di Masa Orde Baru
Pada masa orde baru, Menteri Agama menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Zakat dan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan surat Nomor : MA/095/1967 tanggal 5 Juli 1967. Dalam surat Menteri Agama tersebut disebutkan antara lain :
“Mengenai rancangan undang-undang zakat pada prinsipnya, oleh karena materinya mengenai hukum Islam yang berlaku bagi agama Islam, maka diatur atau tidak diatur dengan undang-undang, ketentuan hukum Islam tersebut harus berlaku bagi umat Islam, dalam hal mana pemerintah wajib membantunya. Namun demikian, pemerintah berkewajiban moril untuk meningkatkan manfaat dari pada penduduk Indonesia, maka inilah perlunya diatur dalam undang-undang”.
Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut disampaikan juga kepada Menteri Sosial selaku penanggungjawab  masalah-masalah sosial  dan Menteri Keuangan selaku pihak yang mempunyai kewenangan dan wewenang  dalam bidang pemungutan. Menteri Keuangan dalam jawabannya menyarankan agar masalah zakat ditetapkan denga peraturan Menteri Agama. Kemudian pada tahun 1968 dikeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 5 tahun 1968 tentang pembentukan Bait al-Mal. Kedua PMA (Peraturan Menteri Agama) ini mempunyai kaitan sangat erat, karena bait al-malberfungsi sebagai penerima dan penampung zakat, dan kemudian disetor kepada Badan Amil Zakat (BAZ) untuk disalurkan kepada yang berhak.
Pada tahun 1968 dikeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 4 tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat (BAZ). Pada tahun yang sama dikeluarkan juga  PMA Nomor 5 tahun 1968 tentang Pembentukan Bait al-MalBait al-Mal yang dimaksud dalam PMA tersebut berstatus Yayasan dan bersifat semi resmi. PMA Nmor 4 tahun 1968 dan PMA Nomor 5 tahun 1968 mempunyai kaitan yang sangat erat. Bait al-Mal itulah yang menampung dan menerima zakat yang disetorkan oleh Badan Amil Zakat seperti dimaksud dalam PMA Nomor 4 Tahun 1968.
Pada tahun 1984 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 2 tahun 1984 tanggal 3 Maret 1984 tentang Infaq Seribu Rupiah selama bulan Ramadhan yang pelaksanaannya  diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor 19/1984 tanggal 30 April 1984. Pada tanggal 12 Desember 1989 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 16/1989 tentang Pembinaan Zaat, Infaq, dan Shadaqah yang menugaskan semua jajaran Departemen Agama untuk membantu lembaga-lembaga keagamaan yang mengadakan pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah agar menggunakan dana zakat untuk kegiatan pendidikan Islam dan lain-lain. Pada tahun 1991 dikeluarkan  Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri Nomor 29 dan 47 tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah yang kemudian ditindaklanjuti  dengan instruksi Menteri Agama Nomor 5 tahun1991 tentang Pedoman Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah dan Instruksi  Menteri Dalam Negeri  Nomor 7 tahun 1988 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah.
  1. Pengelolaan Zakat di Era Reformasi
Pada era reformasi tahun 1998, setelah menyusul runtuhnya kepemimpinan nasional Orde Baru, terjadi kemajuan signifikan di bidang politik dan sosial kemasyarakatan. Setahun setelah reformasi tersebut, yakni 1999 terbitlah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Di era reformasi, pemerintah berupaya untuk menyerpurnakan sistem pengelolaan zakat di tanah air agar potensi zakat dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi  bangsa yang terpuruk  akibat resesi ekonomi dunia dan krisis multi dimensi yang  melanda Indonesia. Untuk itulah pada tahun 1999, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat, yang kemudian diikuti dengan dikeleluarkannya Keputusan Menteri Agama  Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D-291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Berdasarkan Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 ini, pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh Pemerintah yang terdiri dari masyarakat dan unsur pemerintah untuk tingkat kewilayahan dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat yang terhimpun dalam berbagai ormas (organisasi masyarakat) Islam, yayasan dan institusi lainnya.
Dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 dijelaskan prinsip pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggungjawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah. Pemerintah dalam hal ini berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq, dn pengelola zakat.
Dari segi kelembagaan tidak ada perubahan yang fundamental dibanding kondisi sebelum tahun 1970-an. Pegelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil  Zakat yang dibentuk oleh pemerintah, tetapi kedudukan formal badan itu sendiri tidak terlalu jauh berbeda dibanding masa lalu. Amil zakat tidak memiliki power untuk menyuruh orang membayar zakat. Mereka tidak  diregistrasi dan diatur  oleh pemerintah  seperti halnya petugas pajak guna mewujudkan masyarakat yang peduli bahwa zakat adalah kewajiban.
2Pasca Kelahiran Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa pada tahun 1999 terbit dan disahkannya Undang-Undang Pengelolaan Zakat. Dengandemikian, maka pengelolaan zakat yang bersifat nasional semakin intensif. Undang-undang inilah yang menjadi landasan legal formal pelaksanaan zakat di Indonesia, walaupun di dalam pasal-pasalnya masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan, seperti tidak adanya sanksi bagi muzakki yang tidak mau atau enggan mengeluarkan zakat hartanya dan sebagainya.
Sebagai konsekuensi Undang-undang Zakat, pemerintah  (tingkat pusat sampai daerah) wajib memfasilitasi terbentuknya  lembaga pengelola zakat, yaitu Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) untuk tingkat Pusat dan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) untuk tingkat Daerah. BAZNAS dibentuk berdasarkan Kepres Nomor 8 /2001, tanggal 17 Januari 2001.
Ruang lingkup BAZNAS berskala Nasional yaitu unit pengumpul Zakat (UPZ) di Departemen, BUMN, Konsulat Jenderal dan Badan Usaha Milim Swasta berskala nasional, sedangkan BAZDA ruang lingkup kerjanya di wilayah propinsi tersebut. Sesuai undang-undang Pengelolaan Zaka, hubungan BAZNAS dengan Badan amil zakat yang lain  bersifat koordinatif, konsultatif, dan informatif. BAZNAS dan BAZDA-BAZDA bekerjasama dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ), baik yang bersifat nasional maupun daerah. Sehingga dengan demikian diharapkan  bisa terbangun sebuah sitem zakat Nasional yang baku, yan bisa diaplikasikan oleh semua pengelola zakat.
Dalam menjalankan program kerjanya, BAZNAS mengunakan konsep sinergi, yaitu untuk pengumpulan ZIS (Zakat, Infaq, Shadaqah) menggunakan hubungan kerjasama dengan unit pengumpul zakat (UPZ) di Departemen, BUMN, Konjen, dan dengan lembaga amil zakat lainnya. Pola kerjasama itu disebut dengan UPZ Mitra BAZNAS. Sedangkan untuk penyalurannya, BAZNAS juga menggunakan pola sinergi dengaLembaga Amil Zakat lainnya, yang disebut sebagai unit Salur  Zakat (USZ) Mitra BAZNAS.
Dengan demikian, maka Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat telah melahirkan paradigma baru pegelolaan zakat yang antara lain mengatur bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh  satu wadah, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah bersama masyarakat dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang terhimpun dalam ormas maupun yayasan-yayasan.
Dengan lahirnya paradigma baru ini, maka semua Badan Amil Zakat harus segera menyesuaikan diri dengan amanat Undang-Undang yakni pembentukannya  berdasarkan kewilayahan pemerintah Negara mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Sedangkan untuk desa/kelurahan, mesjid, lembaga pendidikan dan lain-lain dibentuk unit pengumpul zakat. Sementara sebagai Lembaga Amil Zakat, sesuai amanat undang-undang ersebut, diharuskan mendapat pengukuhan dari pemerintah sebagai wujud peminaan, perlindungan dan pengawasan yang harus diberikan pemerintah. Karena itu bagi Lembaga Amil Zakat yang telah terbentuk di sejumlah Ormas Islam, yayasan atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dapat mengajukan permohonan pengukuhan kepada pemerintah setelah memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan.
Dalam rangka melaksanakan pengelolaan zakat sesuai dengan amanat undang-undang Nomor 38 tahun 1999, pemerintah pada tahun 2001 membentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dengan Keputusan Presiden. Di setiap daerah juga  ditetapkan pembentukan Badan Amil Zakat Provinsi, Badan Amil Zakat Kabupaten/Kota hingga Badan Amil Zakat Kecamatan. Pemerintah juga mengukuhkan keberadaan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang didirikan oleh masyarakat. LAZ tersebut melakukan kegiatan pengelolaan zakat sama seperti yang dilakukan oleh  Badan Amil Zakat. Pembentukan Badan Amil Zakat di tingkat nasional  dan daerah mengantikan pengelolaan zakat oleh BAZIS  (Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah) yang sudah berjalan dihampir semua daerah.

C.    Manajemen Pengelolaan Zakat dan Lembaga Zakat (Amil) [4]
1.      Urgensi Lembaga Pengelola Zakat
Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allah dalam QS. At-Taubah: 60
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)  budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
Juga dalam firman Allah SWT QS. At-Taubah:103
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat memiliki beberapa keuntungan antara lain:
  1. untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat.
  2. untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki.
  3. untuk mencapai efisiensi dan efektifitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala proritas yang ada pada suatu tempat.
  4. untuk memperlihatkan syiar islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami.
  5. untuk memudahkan kordinasi dan konsolidasi data muzakki dan mustahiq.
  6. untuk memudahkan pelaporan dan pertanggungjawaban ke publik.
  7. agar pengelolaaannya dapat dikelola secara professional (pen). Sebaliknya jika zakat diserahkan langsung dari muzakki ke mustahik, meskipun secara hukum syar’i adalah sah, akan tetapi disamping akan terabaikannya hal-hal tersebut diatas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan pemerataan dan kesejahteraan ummat, akan sulit diwujudkan.
2.      Persyaratan Pengelola Lembaga  Zakat (Amil)
DR. Yusuf Qardawi dalam bukunya, Fiqh Zakat menyatakan bahwa seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat harus memiliki persyaratan sebagai berikut:
  1. Beragama Islam.
  2. Mukallaf.
  3. Amanah dan jujur.
  4. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat zakat.
  5. Memiliki kemampuan dan kesungguhan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
  6. Memiliki kemampuan analisis perhitungan zakat, manajemen, IT dan metode pemanfataan dan pemberdayaan zakat.
3.        Persyaratan Lembaga Pengelola  Zakat
Persyaratan teknis lembaga zakat berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI nomor 581 tahun 1991 adalah:
  1. Berbadan Hukum
  2. Memiliki data muzakki dan mustahiq.
  3. Memiliki program kerja yang jelas.
  4. Memiliki pembukuan dan manajemen yang baik.
  5. Melampirkan surat pernyataan bersedia diaudit.
Persyaratan tersebut diharapkan dapat mengarah pada profesionalitas dan trasparansi dari setiap pengelolaan zakat.
4.       Manajemen  Zakat, Infaq, Sadaqah dan Wakaf
Seiring dengan perintah Allah kepada umat Islam untuk membayarkan zakat, Islam mengatur dengan tegas dan jelas tentang pengelolaan harta zakat. Manajemen zakat yang ditawarkan oleh Islam dapat memberikan kepastian keberhasilan dana zakat sebagai dana umat Islam. Hal itu terlihat dalam Al-Qur’an bahwa Allah memerintahkan Rasul SAW untuk memungut zakat (QS. At-Taubah: 103). Di samping itu, surat At-Taubah ayat 60 dengan tegas dan jelas mengemukakan tentang yang berhak mendapatkan dana hasil zakat yang dikenal dengan kelompok delapan asnaf. Dari kedua ayat tersebut di atas, jelas bahwa pengelolaan zakat, mulai dari memungut, menyimpan, dan tugas mendistribusikan harta zakat berada di bawah wewenang Rasul dan dalam konteks sekarang, zakat dikelola oleh pemerintah. Dalam operasional zakat, Rasul SAW telah mendelegasikan tugas tersebut dengan menunjuk amil zakat. Penunjukan amil memberikan pemahaman bahwa zakat bukan diurus oleh orang perorangan, tetapi dikelola secara profesional dan terorganisir. Amil yang mempunyai tanggungjawab terhadap tugasnya, memungut, menyimpan, dan mendistribusikan harta zakat kepada orang yang berhak menerimanya. Pada masa Rasul SAW, beliau mengangkat beberapa sahabat sebagai amil zakat. Aturan dalam At-Taubah ayat 103 dan tindakan Rasul saw tersebut mengandung makna bahwa harta zakat dikelola oleh pemerintah. Apalagi dalam Surat At-Taubah ayat 60, terdapat kata amil sebagai salah satu penerima zakat. Berdasarkan ketentuan dan bukti sejarah, dalam konteks kekinian, amil tersebut dapat berbentuk yayasan atau Badan Amil Zakat yang mendapatkan legalisasi dari pemerintah. Akhir-akhir ini di Indonesia, selain ada Lembaga Amil Zakat yang telah dibentuk pemerintah berupa BAZ mulai dari tingkat pusat sampai tingkat kelurahan, juga ada lembaga atau yayasan lain seperti Dompet Dhuafa di Jakarta, Yayasan Dana Sosial Al-Falah di Surabaya, Yayasan Daarut Tauhid di Bandung, dan Yayasan Amil Zakat di Lampung.
5.      Pengelolaan zakat dan Pengalokasian zakat professional dan produktif
Dalam literature zakat, baik literature klasik maupun modern, selalu ditemukan bahwa pengumpulan zakat adalah kewajiban pemerintah di negara Islam. Penguasa berkewajiban memaksa warga Negara yang beragama Islam dan mampu memabayar zakat atas harta kekayaannya yang telah mencapai haul dan nisab. Kewajiban membayar zakat ini diikuti dengan penerapan dan pelaksanaan pengelolaan zakat yang professional. Ketidakberhasilan ini disebabkan karena persoalan manajemen kelembagaannya. Olehnya itu perlunya penerapan prinsip-prinsip manajemen secara professional. Salah satu model pendayagunaan zakat dengan sistem Surplus zakat Budged. Yaitu zakat diserahkan muzakki kepada Amil, dana yang dikelola akan diberikan kepada mustahiq dalam bentuk uang tunai dan sertifikat. Dana yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat harus dibicarakan dan mendapat izin dari mustahiq yang menrimanya. Dana dalam bentuk uang cash akan digunakan sebagai pembiayaan pada perusahaan, dengan harapan perusahaan tersebut akan berkembang dan dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat ekonomi lemah termasuk mustahiq. Disamping itu perusahaan akan memberikan bagi hasil kepada mustahiq yang memiliki sertifikat pada perusahaan tersebut. Dari bagi hasil yang diterima mustahiq tersebut jika telah mencapai nishab dan haulnya diharapkan mustahiq tersebut dapat membayar zakat atau memberikan sadaqah. Tugas amil adalah membentu mustahiq dalam mengelola dana zakat dan selalu memberi pengarahanatau motivasi serta pembinaan sampai mustahiq dapat memanfaatkan dana yang dimiliki dengan baik.
6.      Pengelolaan zakat melalui Sistem In Kind
Sistem In Kind diterapkan dengan meklanisme, dana zakat yang ada tidak dibagikan dalam bentuk uang atau sertifikat. Namun dana zakat diberikan dalam bentuk alat-alat produksi yang dibutuhkan oleh kaum ekonomi lemah yang ingin berusaha/produksi, baik mereka yang baru akan mulai usahanya maupun yang telah berusaha untuk pengembangan usaha




REFERENSI

Tim Redaksi Fokusmedia. 2009. Undang-Undang Ekonomi Syariah. Bandung: Fokusmedia.




[[1]] Tim Redaksi Fokusmedia, Undang-Undang Ekonomi Syariah, (Bandung: Fokusmedia, 2009), hlm.374-382.
Powered by Blogger.