MAKALAH "PENYELSAIAN SENGKETA BISNIS SYARIAH"

0 Comments
MAKALAH "PENYELSAIAN SENGKETA BISNIS SYARIAH"

A.    Perdamaian (Sulhu)
Langkah pertama yang perlu diupayakan ketika hendak menyelesaikan perselisihan di bidang bisnis, ialah melalui secara damai. Untuk mencapai hakekat perdamaian, prinsip utama yang perlu dikedepankan adalah kesadaran para pihak untuk kembali kepada Allah (Al-Quran) dan rasulnNya (As-Sunnah) dalam menyelesaikan segala persoalan. Sebab yang demikian itu merupakan sebaik-baiknya akibat yang akan ditimbulkan (QS. An-Nisa[4]: 59).
1.      Definisi
Upaya damai dalam fiqh dikenal dengan istilah sulhu, yaitu suatu akad untuk memutuskan persoalan antara dua pihak yang berselisih. Upaya damai tersebut biasanya ditempuh melalui musyawarah (syuura) untuk mencapai mufakat diantara para pihak yang berselisih (QS.Asyu-Syuura[42]: 38). Dengan musyawarah yang mengedepankan prinsip-prinsip syariat, diharapkan apa yang menjadi persoalan para pihak dapat diselesaikan.
2.      Dasar Hukum
Perdamaian itu lebih baik bagi mereka (QS. An-Nisa[4]: 128). Dan jika ada dua golongan dua orang-orang yang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan yang berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adilah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS. Al-Hujurat[49]: 10). Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al-Hujurat[49]: 10).  243-244
3.      Rukun dan Syarat Perdamaian  
Adapun yang menjadi rukun perjanjian perdamaian adalah:
a.       Adanya ijab
b.      Adanya kabul
c.       Adanya lafal
Ketiga rukun itu sangat penting dalam suatu perjanjian perdamaian, sebab tanpa ijab, kabul dan lafal secara formal tidak diketahui adanya perdamaian di antara mereka. Adapun yang menjadi syarat syahnya suatu perjanjian perdamaian dapat dapat diklasifikasikan kepada beberapa hal berikut
Menyangkut subjek (pihak-pihak yang mengadakan perjanjian perdamaian.
a.       Menyangkut objek perdamaian
b.      Persoalan yang boleh didamaikan 
4.      Pelaksanaan Perdamaian
Adapun yang dimaksud dengan pelaksanaan perdamaian adalah menyangkut tempat dan waktu pelaksanaan perjanjian perdamaian yang diadakan oleh pihak-pihak yang terlibat sengketa. Apabila dipraktikkan dalam praktik pelaksanaannya, tempat dan waktu pelaksanaan tersebut dapat diklasifikasikan kepada perdamaian dilura sidang pengadilan dan melalui sidang pengadilan.
5.      Pembatalan Perdamaian
Sebagaimana telah diterapkan diatas bahwa pada dasarnya perjanjian perdamaian tidak dapat dibatalkan secara sepihak, dan ia telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keputusan pengadilan tingkat terakhir. Dengan perkataan lain, tidak dapat lagi diajukan guagatan terhadap perkara/ persoalan yang sama dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde).   
Namun demikian, perjanjian perdamaian tersebut masih mungkin untuk dibatalkan yaitu apabila: Moch Faisal Salam (2006: 350-354).
1.      Telah terjadi suatu kekhilafan mengenai subjek (orangnya)
2.      Telah terjadi kekhilafan terhadap pokok perselisihan.        
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               
B.     Arbitrer Syariah
Untuk menyelesaikan perkara / perselisihan secara damaidalam hal keperdataan, selain dapat dicapai melaluiinisiatif sendiri dari para pihak, juga dapat dicapai melalui keterlibatan pihak ketiga sebagai wasit (mediator). Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak yang berperkara itu sendiri ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai. Pengangkatan pihak ketiga sebagai mediator dapat dilakukan secara formal maupun non formal. Institusi formal yang khususdibentuk untuk menangani perselisihan/ sengketa disebut arbitrase, yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
1.      Definisi
Dalam hukum syariah, istilah arbitrase lebih dikenal dalam sebutan tahkim. Istilah tahkim sendiri berasal dari kata”hakkama” yang secara harfiah berarti mengangkat (seseorang) menjadi wasit. Sedangkan secara terminologi, tahkim dapat diartikan sebagai pengangkatan seseorangmenjadi wasit dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa. Dengan kata lain, pengertian tahkim ialah tempat bersandarnya dua orang yang bertikai kepada seseorang yang mereka ridhoi keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian para pihak yang bersengketa. Karena tahkim merupakan aktifitas penunjukan wasit, maka orang yang ditunjuk itu disebut hakam (jamak dari hukum).244-245).
2.      Sumber hukum arbitrase islam
Sumber hukum yang mendasari keharusan adanya lembaga arbitrase Islam terdapat dalam Al-Qur’an, As-sunnah dan Ijma Ulama.
a.       Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama memberikan petunjuk kepada manusia apabila terjadi sengketa para pihak apakah dibidang politik keluarga ataupun bisnis terdapat dalam QS, al-Hujarat, 49:9).
b.      As-sunnah
Riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Majjah, Al-Hakim dan Ibnu Hibban, menyampaikan bahwa Rosululloh saw bersabda,”perjanjian diantara orang-orang Muslim itu boleh, kecuali perjanjian menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.” Dalam hal ini at-Tirmidzi menambahkan, “Muamalah orang-orang Muslim itu berdasarkan syarat-syarat mereka.”
c.       Ijma Ulama
Banyak terdapat produk Hukum Islam melalui proses Ijma’ Ulama yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), baik lokal maupun nasional dalam bidang persoalan hidup bagi ummat Islam Indonesia. Produk Ijma’ tersebut telah disepakati oleh para ulama dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat secara tetap atau kontemporer. Banyak sekali produk Ijma’ Ulama yang pernah ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Moch Faisal Salam, (2006: 364-365).
3.      Putusan Arbitrase
Menurut pendapat Ahmad dan Abu Hanifah serta menurut suatu riwayat dari Asy-Syafi’i, putusan Arbitrase hanya dapat dilaksanakan oleh orang yang mnetahkimkan diri kepada Arbitrator. Akan tetapi, menurut riwayat yang lain, hukum yang diberiakan oleh arbitrator itu tidak mesti diikuti oleh bersangkutan. Apabila para pihak bersengketa telah menerima putusan seorang arbitrator, tetapi tidak menerima putusan itu, maka mereka dapat mengajukan lagi perkaranya kepada arbitrator lain. Kemudian, arbitrator itu memberikan putusan pula dengan tidak mengetahui adanya putusan yang pertama, baik sama maupun bertentangan antara keduanya. Maka apabila urusan itu diajukan kepaada hakim, hendaklah hakim menerapkan hukumnya sesuai dengan pendapatnya. Akan tetapi, jika sesuatu perkara sudah diputuskan oleh seorang arbitrator, kemudian diajukan kepada hakim, maka hakim boleh membenarkan putusan arbitrator itu manakal sesuai dengan madzhabnya. Dari uraian diatas maka peranan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia BAMUI dirinci sebagai berikut:
4.      Peranan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).
Arbitrase memiliki peranan penting, di dalam pembangunan  hukum nasional. Ditinjau dari substansinya, hukum arbitrase memiliki substansi yang tidak hanya bersifat nasional tetapi juga hukum Internasional. Dalam praktek Muamalat, usaha perniagaan dan dunia usaha, pada umumnya di lingkungan ummat Islam, tumbuh kebutuhan akan adanya suatu badan yang dapat memutuskan masalah sengketa dagang yang ada diantara mereka. Badan ini akan bekerja dalam kerangka peraturan resmi negara yang ada dan didasarkan pada kesadaran dan penghayatan hukum pelaku-pelaku Muamalat tersebut. Semuanya dilandasi oleh musyawarah mufakat dan akhlak Islam dalam kerangka Negara RI berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Dan inilah yang dilakukan oleh BAMUI.
·         Sebagai catatan untuk BAMUI perlu disitir beberapa pokok pikiran seperti yang dikemukakan oleh Menteri Agama. Bapaki tarmizi Taher, pada peresmian BAMUI Indonesia pada tanggal 21 Oktober 1994,yakni sebagai berikut:
·         Sebagai pelengkap sistem ekonomi Indonesia, maka sengketa-sengketa yang timbul di dalam perdagangan perlu diselesaikan secara yang dianjurkan oleh agama kita yaitu Hakam.
·         Penyelesaian sengketa-sengketa secara Ishalah, sebab Ishlah itu menurut sabda nabi pahalanya lebih besar daripada shalat.
·         Nilai-nilai Islam yang makin lama makin kita gali dapatmenimbulkan masyarakat yang dinamis tapi sekaligus tidak destruktif.
·         Hingga saat ini hukum Arbitrase masih merupakan warisan Hindia Belanda.
·         Adanya pengaruh globalisasi internasional.
·         Pengaruh keberadaan Bank Muamalat Indonesia bersifat nasional dan internasional.
5.      Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
Didirikan pada tanggal 3 Desember 1977 oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia. Tujuannya memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai soal- soal perdagangan, industri, dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Moch. Faisal Salam, (2006: 364-376).

C.    Lembaga Peradilan Syariah
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain dalam bidang:
a)      Perkawinan
b)      Waris
c)      Wasiat
d)      Hibah
e)      Wakaf
f)       Zakat
g)      Infaq
h)      Shadaqah
i)       Ekonomi syariah

1.      Definisi
Qadha secara harfiah berarti memutuskan atau menetapkan. Sedangkan secara terminologi, istilah qadha dapat diartikan sebagai lembaga? Institusi peradilan yang bertugas untuk menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Peradilan pada hakikatnya merupakan suatu lembaga/Institusi yang berfungsi untuk menegakkan hukum dalam menyelesaikan perkara berdasarkan hukum-hukum syara’. Tujuan dari penegakkan hukum adalah untuk menciptakan keadilan dan kebenaran di tengah kehidupan masyarakat. Dalam ajaran islam, keadilanb dan kebenaran merupakan suatu nilai-nilai keutamaan yang semata-mata hanya dapat terwujud ditengah kehidupan umat manusia apabila hukum-hukum syara’ diberlakukan.
2.      Dasar Hukum
Kewenangan membentuk dan menyelenggarakan lembaga peradilan merupakan hak pemerintah. Dalam pandangan islam, penyelenggara peradilan merupakan tugas dan kewajiban yang mulia. Karena penyelenggara peradilan merupakan instrumen untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi untuk tujuan kemaslahatan manusia, baik kehidupan di dunia maupun di akhirat. Dalam Al-Quran banyak ayat-ayat yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum penyelesaian sengketa berdasarkan prinsip-prinsip syariah, misalnya:
Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan). Maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka  perselisihan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus QS.Al-Baqarah[2]: 213).
3.      Macam- macam Qadhi
Penyelenggaraan peradilan merupakan fardhu kifayah untuk menciptakan kemaslahatan. Ruang lingkup kekuasaan kehakiman (wilayat al qadha) dalam lembaga peradilan Islam dapat dibedakan menjadi:
a.       Qadhi khusumat, adalah hakim yang berwewenang menyelesaikan sengketa (khusumat) yang terjadi di masyarakat umum, baik dalam perkara muamalat maupun ‘uqubat.
b.      Qadhi hisbah, adalah aparat penegak hukium ( hakim) yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah atau pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan proses peradilan untuk menyelesaikannya.
c.       Qadhi madzalim, adalah hakim yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara rakyat dengan penguasa yang dzalim. Kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini adalah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pejabat pemerintah yang kebijakannya mendzalimi rakyat.
4.      Ketentuan Dasar Penyelesaian Sengketa di Peradilan
Dalam penyelesaian  sengketa di lembaga peradilan, terdapat beberapa ketentuan dasar yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah: (264-269)
a.       Pengajuan Dakwaaan/ tunututan.
b.      Pembuktian




REFERENSI

S. Burhanuddin. 2001. Hukum Bisnis Syariah. Yogyakarta: UII Press.

Salam, Moch. Faisal. 2006. Pertumbuhan Hukum Bisnis Syari’ah Di Indonesia. Bandung: Pustaka.


You may also like

No comments:

Powered by Blogger.