MAKALAH "KAIDAH AL-YAQIN LA YUZALU BI AS-SYAK"

0 Comments

MAKALAH "KAIDAH AL-YAQIN LA YUZALU BI AS-SYAK"


A.    Definisi

1.      Al-Yaqin

1.)    Menurut kebahasaan berarti: pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya. Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya pengetahuan dan merupakan anonim dari Asy-Syakk.
2.)    As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.
2.      Asy-Syakk
1)      Menurut kebahasaan berarti: anonim dari Al-Yaqin. Juga bisa diartikan sesuatu yang membingungkan.
2)      Menurut istilah:
a.       Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.[1]
Sedangkan yang dimaksud tidak hilang” (La yuzhalu) bukan berarti keyakinan itu sendiri yang sirna, sebab hal itu mustahil terjadi melainkan hukum yang telah terbangun berdasarkan keyakinan itulah yang tidak akan hilang.[2]
Jadi kesimpulannya, definisi al-yaqin la yuzalu bi as-syak adalah apabila seseorang telah meyakini sesuatu perkara maka yang telah diyakini ini tidak dapat dihilangkan dengan yang keraguan. [3]

B.        Landasan Hukum
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abu Hurairah berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim).

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
“Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa rakaatkah dia mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan lakukanlah yang dia yakni kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia itu shalat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan shalatnya, dan jikalau ternyata shalatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.” (HR. Muslim)[4]





C.    Turunan Kaidah
الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَا
 
 
1.       



“Menurut dasar yang asli memberlakukan keadaan semula atas keadaan yang ada sekarang”
Contoh :
a.    Ketika bulan ramadhan seseorang ragu pada saat makan sahur apakah sudah memasuki waktu fajar atau belum. Puasa orang tersebut pada pagi harinya dihukumi sah. Karena dasar aslinya keadaan waktunya masih malam, bukan waktu fajar.
b.    Pembeli radio menggugat kepada penjual karena radio yang dibeli dari penjual tersebut pada saat dirumah tidak dapat digunakan. Gugatan pembeli dikalahkan karena menurut asalnya radio yang dijual ditetapkan dalm keadaan baik.
2.     
الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّة

 
 



“Menurut dasar yang asli tiada tanggung jawab”
Contoh :
a.    Jika ada orang yang memberi hadiah kepada orang lain namun dengan persyaratan, dan ada perselisihan tentang persyaratan/penggantian tersebut, maka yang dibenarkan adalah perkataan yang menerima hadiah. 
b.    Dalam hal kerusakan barang, dan terjadi perbedaan nilai kerusakan barang itu maka yang dimenangkan adalah orang yang dirugikan. Sebab menurut asalnya ia tidak dibebani tanggungan tambahan.
3.     
الْأَصْلُ الْعَدم
 
 



“Menurut dasar yang asli ketiadaan sesuatu”
Contoh :
a.    Orang yang berhutang kepada orang lain, telah mengaku membayar hutangnya dengan pengakuannya sendiri. Sedangkan orang yang menghutangi tidak mengakui pengakuan tersebut. Maka dalam perselisihan ini dimenangkan oleh orang yang menghutangi karena belum adanya pembayaran hutang yang meyakinkan dan pengakuan pembayaran hutang masih diragukan.
b.    Dalam kasus mudharabah, orang yang menjalankan modal orang lain melaporkan belum mendapat keuntungan. Maka laporan itu, dibenarkan karena sejak diadakan akad mudharabah belum ada keuntungsn. Dalam hal ini, belum memperoleh keuntungan adalah nyata sedangkan keuntungan yang diharapkan belum pasti.
4.     
الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيم

 
 



“Asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjuk keharamannya”.
Contoh :
a.    Binatang yang susah ditentukan keharamannya karena tidak terdapat sifat dan ciri keharaman, maka binatang itu halal dimakan. Misalnya binatang jerapah dan gajah.
5.     
الْأَصْلُ فِي كُلِّ حَادِثِ تَقَدِّ رُهُ بِأَقْرَبِالزَّمَأنِ

 
 



“Asal setiap peristiwa penetapannya menurut masa yang terdekat dengan kejadiannya”
Contoh :
a.    Seseorang mengambil wudhu di sumur, beberapa hari kemudian diketahui di dalam sumur ada bangkai tikus, sehingga menjadikan keraguan. Dalam masalah ini, ia tidak wajib mengganti shalat yang sudah dikerjakannya.
b.    Seorang dokter mengoperasi pasien, operasi tersebut berhasil. Tetapi beberapa hari kemudian, pasien tersebut meninggal. Dalam persoalan ini, dokter tidak dapat diminta pertanggungjawaban kematien pasien karena ada kemungkinan kematiannya ada hal lain yang mendekati peristiwa kematian.
6.     
من شك افعل شيأ ام لا فالاصل انه لم يفعله
 
 



“Barang siapa ragu-ragu apakah ia mengerjakan sesuatu atau tidak, maka menurut asalnya ia dianggap tidak melakukannya.”
Contoh :
a.    Seseorang yang shalat dan ragu apakah ia sudah mengerjakan I’tidal atau belum. Maka, shalatnya harus diulang karena dianggap tidak mengerjakan.
7.     
من تيقن الفعل وشك في القليل اوالكثير حمل على القليل لانهالمتيقن
 
 



“Barang siapa meyakinkan berbuat dan meragukan tentang banyak atau sedikitnya, maka dibawanya kepada yang sedikit.”
Contoh :
a.    Debitur yang berkewajiban mengangsur uang yang telah disetorkan kepada kreditur apakah sudah 5 atau 6 kali maka dianggap baru mengangsur 5 kali. Karena yang sedikit itulah yang sudah diyakini kepastiannya.
8.     
الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الْحَقِيقَة
 
 



“Menurut dasar yang asli dalam pembicaraan adalah yang hakiki.”
Contoh :
a.    Si A bersumpah tidak akan membeli barang kepada si B, namun si A menyuruh si C untuk membeli barang kepada si B. kejadian seperti itu tidak dapat dikatakan melanggar sumpah.
b.    Ketika seseorang telah mengatakan memberikan rumah kepada orang lain, arti hakikat dari kata memberikan ialah memindahkan hak kepemillikan. Jika sang pemberi rumah tersebut mengelak pemindahan hak milik dan dia menganggap rumah tersebut hanya untuk ditempati. Maka, perkataan pemberi rumah tersebut tidak dianggap atau tidak dihiraukan.[5]



[1] Ailif Pardianzyah, “Makalah Al Yakin La Yuzalu Bi Syak”, Slideshare, http://www.slideshare.net/ailifpardianzyah/makalah-al-yakin-la-yuzalu-bi-syak?related=1, 28 Oktober 2014 pukul 16:15
[2] Dede Imas Masruroh, “Kaidah Al-Yaqin La Yuzalu bi Al-Syak”, Rusunawa blog pendidikan dan pendidikan, http://rusunawablog.wordpress.com/2014/04/23/kaidah-al-yaqin-la-yuzalu-bi-al-syak/, 30 Oktober 2014 pukul 11:04
[3] A. Mu’in dkk, Ushul Fiqh II, Jakarta, Departemen Agama, 1986, hlm 195
[4] Ailif Pardianzyah, “Makalah Al Yakin La Yuzalu Bi Syak”, Slideshare, http://www.slideshare.net/ailifpardianzyah/makalah-al-yakin-la-yuzalu-bi-syak?related=1, 28 Oktober 2014 pukul 16:15

[5] Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung, Al-Ma’arif, 1986, hlm 497-503


You may also like

No comments:

Powered by Blogger.